BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan
bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. Demi tercapainya
derajat kesehatan yang tinggi, maka wanita sebagai penerima kesehatan,
anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan dalam
keluarga, supaya anak tumbuh sehat sampai dewasa sebagai generasimuda. Oleh
sebab itu wanita, seyogyanya diberi perhatian sebab :
(1) Wanita menghadapi
masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi pria berkaitan dengan fungsi
reproduksinya, (2) Kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak
yangdikandung dan dilahirkan, (3) Kesehatan wanita sering dilupakan dan ia
hanya sebagai objek dengan mengatasnamakan pembangunan seperti program KB, dan
pengendalian jumlah penduduk, (4) Masalah kesehatan reproduksi wanita
sudah menjadi agenda Intemasional diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil
Konferensi mengenai kesehatanreproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo)
(Dewi, 2012).
Kesehatan
reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan
hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan
dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya. Oleh
karena itu, kesehatan reproduksi berarti orang dapat mempunyai kehidupan seks
yang memuaskan dan aman, dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi
dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan
seberapa seringkah. Termasuk terakhir ini adalah hak pria dan wanita untuk
memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara-cara keluarga berencana
yang aman, efektif dan terjangkau, pengaturan fertilitas yang tidak melawan
hukum, hak memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan kesehatan yang
memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan dan melahirkan
anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki bayi yang sehat. Sejalan dengan
itu pemeliharaan kesehatan reproduksi merupakan suatu kumpulan metode, teknik
dan pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi melalui
pencegahan dan penyelesaian masalah kesehatan reproduksi. Ini juga mencakup
kesehatan seksual, yang bertujuan meningkatkan status kehidupan dan
hubungan-hubungan perorangan, dan bukan semata-mata konseling dan perawatan
yang bertalian dengan reproduksi dan penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seks.
Berdasarkan pemikiran
di atas kesehatan wanita merupakan aspek paling penting disebabkan
pengaruhnya pada kesehatan anak-anak. Oleh sebab itu pada wanita diberi
kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai dengan
kebutuhannya di mana ia sendiri yang memutuskan atas tubuhnya
sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa kesehatan reproduksi pada perempuan itu?
1.2.2
Bagaimana cara mengenali masalah pada
kesehatan reproduksi?
1.2.3
Bagaimana contoh kasus dari permasalahan
kesehatan reproduksi pada perempuan itu?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui teori tentang kesehatan
reproduksi pada perempuan.
1.3.2
Untuk mendalami masalah kesehatan
reproduksi pada perempuan.
1.3.3
Untuk mengetahui kasus dari permasalahan
kesehatan reproduksi pada perempuan serta cara mengatasinya.
BAB 2
KONSEP TEORI
2.1 Konsep Kesehatan
Reproduksi
2.1.1
Pengertian Kesehatan
Reproduksi Perempuan
Berdasarkan Konferensi Wanita
sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan Konferensi Kependudukan dan
Pembangunan di Cairo tahun 1994 sudah disepakati perihal hak-hak reproduksi
tersebut. Dalam hal ini (Cholil, 1996 dalam Savitri, 2003) menyimpulkan bahwa
terkandung empat hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu kesehatan reproduksi
dan seksual (reproductive and sexual health), penentuan dalam keputusan
reproduksi (reproductive decision making), kesetaraan pria dan wanita (equality
and equity for men and women) dan keamanan reproduksi dan seksual (sexual
and reproductive security).
Reproduksi adalah suatu istilah
yang masih asing di telinga masyarakat, terlebih lagi perempuan pedesaan.
Bagaimanapun semua perempuan dewasa telah mengalami sendiri proses dari
reproduksi, mulai dari mentruasi, hubungan seksual, hamil, melahirkan dan
menopouse. Ironisnya, tidak semua orang mengetahui bagaimana menciptakan suatu
kondisi reproduksi yang sehat termasuk pada perempuan pedesaan. Maka dari itu
untuk mengetahui bagaimana menciptakan suatu keadaan yang baik dan sehat
diperlukan suatu perawatan terhadap reproduksi perempuan termasuk organ-organ
reproduksi (Imamah, 2009).
Kesehatan reproduksi menurut WHO
adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari
penyakit atau kecatatan, dalam segala aspek yang behubungan dengan sistem
reproduksi (Wahid, 1996: 14). Agar dapat melaksanakan fungsi rerproduksinya
secara sehat, dalam pengertian fisik, mental maupun sosial, diperlukan beberapa
prasyarat, yakni: pertama, agar tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis. Kedua,
agar perkembangan emosinya berlangsung dengan baik maka diperlukan landasan psikis
yang memadai. Ketiga, setiap orang hendaknya terbebas dari kelainan atau
penyakit yang langsung maupun tidak langsung mengenai organ reproduksinya.
Keempat, seorang perempuan hamil memerlukan jaminan bahwa ia akan dapat
melewati rasa tersebut dengan aman.
2.1.2
Sejarah Perkembangan Kesehatan Reproduksi
2.1.2.1 Konferensi di Wina,
1993
Mendiskusikan HAM dalam
perspektif gender dan isu kontroversial mengenai hak reproduksi.
Mendeklarasikan “HAP dan anak perempuan adalah mutlak, terpadu dan merupakan
bagian dari HAM (Dewi, 2012).
2.1.2.2 ICPD (International
Conference on Population Development)
Disponsori oleh PBB yang dihadiri oleh 180 negara dan
bertempat di Cairo Mesir, yang menghasilkan kebijakan program kependudukan
(Program Aksi 20 tahun) yang menyerukan agar setiap negara meningkatkan status
kesehatan, pendidikan dan hak individu khususnya perempuan dan anak,
mengintegrasikan program KB kedalam agenda kesehatan perempuan yang lebih luas
(Wallstam, 1977).
2.1.2.3 Konferensi perempuan
sedunia ke 4 di Beijing (Fourth World Conference on Women) 1995
Menghasilkan platform
12th Critical Area of concern yang dianggap sebagai penghambat utama
kemajuan kaum perempuan.
2.1.3
Ruang lingkup kesehatan reproduksi
Dalam
penerapan kesehatan reproduksi pada pelayanan kesehat an dasar diprioritaskan
suatu paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Essensial (PKRE), yang meliputi:
2.1.3.1
Kesehatan Ibu dan Anak Baru
Lahir (Safe Motherhood)
Upaya peningkatan derajat
kesehatan ibu, bayi (kesehatan ibu dan bayi baru lahir) dan anak dipengaruhi oleh kesadaran dalam perawatan
dan pengasuh anak.
Sebagian
besar kematian ibu disebabkan oleh faktor kesehatan-kesehatan, antara lain :
a)
Perdarahan
saat melahirkan.
b)
Eklamsia.
c)
Infeksi.
d)
Persalinan
macet.
e)
Keguguran.
Sedangkan
faktor non kesehatan antara lain kurangnya pengetahuan ibu yang berkaitan
dengan kesehatan termasuk pola makan dan kebersihan diri.
2.1.3.2
Keluarga Berencana.
Keluarga
Berencana dalam hal ini adalah penggunaan alat kontrasepsi. Seperti kita
ketahui selama ini ada anggapan bahwa KB adalah identik dengan urusan
perempuan.
2.1.3.3
Penanggulangan Infeksi Menular
Seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS.
Dari
berbagai jenis PMS yang dikenal, dampak yang sangat berat dirasakan oleh
perempuan, yaitu berupa rasa sakit yang hebat pada kemaluan, panggul dan
vagina, sampai pada komplikasi dengan akibat kemandulan, kehamilan diluar
kandungan serta kanker mulut rahim.
Infertilitas
adalah suatu keadaan dimana pasangan yang telah menikah dan ingin punya anak
tetapi tidak dapat mewujudkannya karena ada masalah kesehatan reproduksi baik
pada suami maupun istri atau keduanya.
a.
Infertilitas
primer.
b.
Infertilitas
sekunder.
c.
Infertilitas
idiopatik.
2.1.3.4
Kesehatan Reproduksi Remaja.
Lembar fakta yang diterbitkan oleh PKBI, United Nations Population Fund
(UNFPA) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan
bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun
melahirkan. Setiap tahun, masih menurut lembar
fakta tersebut, sekitar2,3 juta kasus aborsi juga terjadi di Indonesia dan 20
persen nya dilakukan oleh remaja.
Disamping itu dikenal pula paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Komprehensif (PKRK), yaitu PKRE yang dilengkapi dengan Pelayanan Kesehatan
Reproduksi pada Usia Lanjut.
2.1.3.5
Kesehatan Reproduki Lanjut Usia
Kesehatan reproduksi meliputi kesehatan
fisik dan mental setiap individu sepanjang siklus kehidupannya sehingga
pemeliharaan kesehatan pasca reproduksi (sering juga disebut dengan kesehatan lansia) juga perlu
mendapat perhatian kita bersama. Masa pasca reproduksi ini ditandai dengan terjadinya penurunan
berbagai fungsi alat/organ tubuh (Endang, 2008).
Lansia atau Lanjut usia, menurut WHO : Pra
lansia 45–54 tahun, Lansia 55–64 tahun, Aging people 65 tahun keatas. Menurut
BKKBN Lansia adalah 60 tahun ke atas.
2.1.4 Hak-Hak Reproduksi
Hak adalah kewenangan yang
melekat pada diri untuk melakukan atau tidak melakukan, memperoleh atau tidak
memperoleh sesuatu (Sanusi, 2005).
Hak dan kesehatan reproduksi
menjadi dua konsep yang tidak terbatas pada persoalan medis organ reproduksi
saja
(Sanusi, 2005).
Konferensi internasional kependudukan dan pembangunan,
disepakati hal-hal reproduksi yang bertujuan untuk mewujudkan kesehatan bagi
individu secara utuh, baik kesehatan rohani dan jasmani, meliputi :
2.1.4.1
Hak mendapat informasi dan pendidikan
kesehatan reproduksi.
2.1.4.2
Hak mendapat pelayanan dan perlindungan
kesehatan reproduksi.
2.1.4.3
Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan
kesehatan reproduksi.
2.1.4.6
Hak atas kebebasan dan keamanan yang
berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
2.1.4.7
Hak untuk bebas dari penganiayaan dan
perlakuan buruk termasuk perlindungan dari pelecehan, perkosaan, kekerasan,
penyiksaan seksual.
2.1.4.8
Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu
penetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
2.1.4.9
Hak atas pelayanan dan kehidupan
reproduksinya.
2.1.4.10
Hak untuk membangun dan merencanakan
keluarga.
2.1.4.11
Hak untuk bebas dari segala bentuk
diskriminasi dalam berkeluarga dan kehidupan kesehatan reproduksi.
2.1.4.12
Hak atas kebebasan berkumpul dan
berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Menurut BKKBN tahun 2000, kebijakan teknis operasional
di Indonesia untuk mewujdkan pemenuhan hak-hak reproduksi :
a)
Promosi hak-hak kesehatan reproduksi.
b)
Advokasi hak-hak kesehatan reproduksi.
c)
KIE hak-hak kesehatan reproduksi.
d)
System pelayanan hak-hak reproduksi (Diah, 2012).
Hak asasi manusia yang
penting untuk kesehatan reproduksi termasuk :
1)
Hak untuk hidup.
2)
Hak atas keamanan
seseorang.
3)
Hak untuk memutuskan
jumlah, jarak dan waktu memiliki anak.
4)
Hak atas
non-diskriminasi dan kesetaraan.
5)
Hak atas privasi.
6)
Hak atas kesehatan.
7)
Hak untuk mencari,
menerima dan menyampaikan informasi.
8)
Hak untuk bebas dari
perlakuan yang kejam, merendahkan dan tidak manusiawi.
9)
Hak atas bantuan.
10) Hak atas manfaat kemajuan ilmiah
(Widyaiswara, 2009).
2.1.5
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan reproduksi
Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan reproduksi secara garis besar dapat dikelompokkan empat
golongan yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi.
2.1.5.1
Faktor sosial ekonomi
dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan
ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi
tempat tinggal yang terpencil);
2.1.5.2
Faktor budaya dan
lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan
reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi
reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu
dengan yang lain, dan sebagainya);
2.1.5.3
Faktor psikologis (dampak
pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan
hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli kebebasannya
secara materi, dan sebagainya);
2.1.5.4
Faktor biologis (cacat
sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual, dan sebagainya).
Pengaruh dari semua faktor diatas
dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang tepat guna, terfokus pada
penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua tingkat
administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan,
pendidikan, sosial dan pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam
pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Sehubungan dengan
fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh hubungan seksual,
tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan kesadaran
kemandirian perempuan dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk
kehidupan seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang
pada akhirnya menuju peningkatan kualitas hidupnya. Dari tujuan umum tersebut
dapat dijabarkan empat tujuan khusus yaitu :
a)
Meningkatnya
kemandirian perempuan dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksinya.
b)
Meningkatnya hak dan
tanggung jawab sosial perempuan dalam menentukan kapan hamil, jumlah dan jarak
kehamilan.
c)
Meningkatnya peran dan
tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari perilaku seksual dan
fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anak-anaknya.
d)
Dukungan yang menunjang
perempuan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan proses reproduksi,
berupa pengadaan informasi dan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk
mencapai kesehatan reproduksi secara optimal.
Tujuan diatas ditunjang oleh
undang-undang No. 23/1992, bab II pasal 3 yang menyatakan: “penyelenggaraan
upaya kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal
bagi masyarakat”, dalam bab III pasal 4 “ setiap orang mempunyai hak yang sama
dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”.
2.1.6
Indikator Permasalahan
Kesehatan Reproduksi Perempuan
Dalam pengertian kesehatan
reproduksi secara lebih mendalam, bukan semata-mata sebagai pengertian klinis
(kedokteran) saja tetapi juga mencakup pengertian sosial (masyarakat). Intinya
goal kesehatan secara menyeluruh bahwa kualitas hidupnya sangat baik. Namun,
kondisi sosial dan ekonomi terutama di negara-negara berkembang yang kualitas
hidup dan kemiskinan memburuk, secara tidak langsung memperburuk pula kesehatan
reproduksi wanita.
Indikator-indikator permasalahan
kesehatan reproduksi perempuan antara lain:
2.1.6.1
Gender
Gender
adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut
budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi
tingkat kesehatan, dan karena peran gender berbeda dalam konteks cross
cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
2.1.6.2
Kemiskinan, antara lain
mengakibatkan: makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi dan tidak
mendapatkan pelayanan yang baik.
2.1.6.3
Pendidikan yang rendah
Kemiskinan
mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah
tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam
situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena
laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Dalam hal ini
bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh
pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat
kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih
besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan
mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari uang, merawat diri
sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan
masyarakat.
2.1.6.4
Kawin muda
Di
negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak
terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan yang
menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga
karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas
tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti
wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di samping itu
resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia
20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung
kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.
2.1.6.5
Kekurangan gizi dan
kesehatan yang buruk
Menurut
WHO di negara berkembang terrnasuk Indonesia diperkirakan 450 juta wanita
tumbuh tidak sempurna karena kurang gizi pada masa kanak-kanak, akibat
kemiskinan. Jika pun berkecukupan, budaya menentukan bahwa suami dan anak
laki-laki mendapat porsi yang banyak dan terbaik dan terakhir sang ibu memakan
sisa yang ada. Wanita sejak ia mengalami menstruasi akan membutuhkan gizi yang
lebih banyak dari pria untuk mengganti darah yang keluar. Zat yang sangat
dibutuhkan adalah zat besi yaitu 3 kali lebih besar dari kebutuhan pria. Di
samping itu wanita juga membutuhkan zat yodium lebih banyak dari pria,
kekurangan zat ini akan menyebabkan gondok yang membahayakan perkembangan janin
baik fisik maupun mental. Wanita juga sangat rawan terhadap beberapa penyakit,
termasuk penyakit menular seksual, karena pekerjaan mereka atau tubuh mereka
yang berbeda dengan pria. Salah satu situasi yang rawan adalah, pekerjaan
wanita yang selalu berhubungan dengan air, misalnya mencuci, memasak, dan sebagainya.
Seperti diketahui air adalah media yang cukup berbahaya dalam penularan bakteri
penyakit.
2.1.6.6
Beban
Kerja yang berat.
Wanita
bekerja jauh lebih lama dari pada pria, berbagai penelitian yang telah
dilakukan di seluruh dunia rata-rata wanita bekerja 3 jam lebih lama. Akibatnya
wanita mempunyai sedikit waktu istirahat, lebih lanjut terjadinya kelelahan
kronis, stress, dan sebagainya. Kesehatan wanita tidak hanya dipengaruhi oleh
waktu kerja, tetapi juga jenis pekerjaan yang berat, kotor dan monoton bahkan
membahayakan. Di India banyak kasus keguguran atau kelahiran sebelum waktunya
pada musim panen karena wanita terus-terusan bekerja keras. Di bidang pertanian
baik pria maupun wanita dapat terserang efek dari zat kimia (peptisida), tetapi
akan lebih berbahaya jika wanita dalam keadaan hamil, karena akan berpengaruh terhadap
janin dalam kandungannya. Resiko-resiko yang harus dialami bila wanita bekerja
di industri-industri misalnya panas yang berlebih-lebihan, berisik, dan cahaya
yang menyilaukan, bahan kimia, atau radiasi.
Peran
jender yang menganggap status wanita yang rendah berakumulasi dengan
indikator-indikator lain seperti kemiskinan, pendidikan, kawin muda dan beban
kerja yang berat mengakibatkan wanita juga kekurangan waktu, informasi, untuk
memperhatikan kesehatan reproduksinya (Juliandi
: 2003).
2.1.7
Gambaran Masalah Kesehatan
Reproduksi Wanita
2.1.7.1
Isu penanganan masalah sosial perempuan merupakan bagian dari kelima
isu yang ditangani di bidang perlindungan perempuan seperti yang sudah
diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 RPJMN 2010-2014.
2.1.7.2
Isu penanganan masalah sosial perempuan meliputi isu terkait dengan
penanganan masalah sosial perempuan di daerah rawan konflik dan bencana alam,
perempuan lanjut usia, perempuan penyandang disabilitas , dan pornografi.
2.1.7.3
Isu penanganan masalah sosial perempuan adalah isu yang penanganannya
dilaksanakan secara lintas sector dan lintas bidang (cross-cutting issues) dan
diselenggarakan secara terkoordinasi.
2.2 Kekerasan terhadap
Perempuan
2.2.1
Pengertian Kekerasan Terhadap
Perempuan
Tindak
kekerasan adalah melakukan kontrol, kekerasan dan pemaksaan meliputi tindakan seksual, psikologis, fisik dan ekonomi yang dilakukan
individu terhadap individu yang lain dalam hubungan,
rumah tangga atau hubungan intim (karib).
Kekerasan terhadap perempuan
merupakan konsep baru, yang diangkat pada Konferensi Dunia Wanita III di
Nairobi, yang berhasil menggalang konsesus internasional atas pentingnya mencegah berbagai bentuk kekerasan
terhadap perempuan dalam kehidupan
sehari-hari di seluruh masyarakat dan bantuan terhadap perempuan koban kekerasan.
Deklarasi Tentang Eliminasi Kekerasan terhadap Perempuan (1993)
mendefinisikan Kekerasan Terhadap Perempuan
sebagai berikut : “Segala bentuk tindak kekerasan
berbasis jender yang berakibat, atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau
penderitaan terhadap perempuan; termasuk ancaman dari
tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi dilingkungan masyarakat
maupun dalam kehidupan pribadi“. Dengan demikian, Kekerasan Terhadap
Perempuan meliputi:
2.2.1.1
Kekerasan Fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, kekerasan seksual terhadap anak perempuan, pemaksaan
isteri untuk melakukan hubungan seksual, penyunatan alat kelamin
perempuan.
2.2.1.2
Kekerasan fisik seksual dan psikologis yuang terjadi di
masyarakat, termasuk perkosaan, penyalahgunaan dan
pelecehan seksual serta intimidasi ditempat kerja, institusi pendidikan dan dimanapun.
2.2.1.3
Penjualan perempuan dan prostitusi paksa.
2.2.1.4
Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan
atau dibiarkan oleh negara dimana pun hal itu terjadi.
2.2.2
Bentuk-bentuk Kekerasan
pada Perempuan
Mencermati pendapat dari para ahli mengenai istilah-istilah yang
dipakai untuk menyatakan bentuk-bentuk kekerasan
terhadap perempuan nampaknya belaum ada kesamaan istilah, ada yang memakai
bentuk-bentuk, ada yang memakai jenis-jenis. Beberapa bentuk kekerasan sebagai
berikut:
2.2.2.1 Kekerasan fisik , seperti :
memukul, menampar, mencekik dan sebagainya.
2.2.2.2 Kekerasan psikologis, seperti :
berteriak, menyumpah, mengancam, melecehkan dan sebagainya.
2.2.2.3 Kekerasan seksual, seperti :
melakukan tindakan yang mengarah keajakan/desakan seksual seperti
menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan
lain sebagainya.
2.2.2.4 Kekerasan finansial, seperti :
mengambil barang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial dan sebagainya.
2.2.2.5 Kekerasan spiritual, seperti :
merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempraktekan ritual dan keyakinan tertentu (Kristi E. Purwandari, 2002).
2.2.3
Faktor-faktor penyebab
terjadinya kekerasan terhadap perempuan
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan
yaitu :
2.2.3.1 Budaya patriarki yang mendudukan
laki-laki sebagai mahluk superior dan perempuan sebagai mahluk interior.
2.2.3.2 Pemahaman yang keliru terhadap
ajaran agama sehingga menganggap laki-laki boleh menguasai perempuan.
2.2.3.3 Peniruan anak laki-laki yang hidup
bersama ayah yang suka memukul, biasanya akan meniru perilaku
ayahnya (Aina Rumiati Aziz, 2002: 2).
2.2.4
Dampak Kekerasan
terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dapat
berakibat hal-hal sebagai berikut ;
2.2.4.1 Akibat fisik ( terhadap perorangan
)
1) Luka berat dan kematian akibat perdarahan.
2) Infeksi, seperti ISR, PMS,
HIV/AIDS.
3) Penyakit radang panggul yang
kronik, yang dapat berakibat infertilitas.
4) Kehamilan yang tidak diinginkan
dan aborsi yang tidak aman.
2.2.4.2 Akibat Non fisik ( terhadap
perorangan )
1) Gangguan mental, misalnya depresi,
ketakutan ,cemas, rasa rendah diri, sulit tidur, mimpi buruk,
gangguan makan, ketagihan alkohol dan obat, menarik diri.
2) Trauma terhadap hubungan seksual,
disfungsi seksual.
3) Perkawinan yang tidak harmonis.
4) Bunuh Diri.
2.2.4.3 Akibat Terhadap Masyarakat
1) Bertambahnya biaya pemeliharaan
kesehatan
2) Efek terhadap produktivitas
3) Kekerasan Terhadap Perempuan di
lingkungan sekolah dapat mengakibatkan putus pendidikan
karena terpaksa keluar sekolah.
2.2.5
Pencegahan dan penanganan
kekerasan terhadap perempuan
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk
mencegah Kekerasan terhadap Perempuan antara lain :
2.2.5.1 Masyarakat menyadari/mengakui
kekerasan terhadap perempuan sebagai masalah yang perlu diatasi.
2.2.5.2 Menyebarluaskan produk hukum
tentang pelecehan seksual ditempat kerja.
2.2.5.3 Membekali perempuan tentang
penjagaan keselamatan diri
2.2.5.4 Melaporkan tindak kekerasan pada
pihak yang berwenang
2.2.5.5 Melakukan akasi menentang
kejahatan seperti kecanduan alkohol, perkosaan dan lain-lain antara lain melalui organisasi masyarakat.
2.2.6
Peran Petugas Kesehatan
dalam Mencegah Kekerasan terhadap Perempuan
Peran
petugas kesehatan dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan, antara lain:
2.2.6.1 Melakukan penyuluhan untuk
mencegah dan penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan.
2.2.6.2 Meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.12
2.2.6.3 Bermitra dan berpartisipasi dalam
pengembangan jaringan kerja untuk menanggulangi masalah kekerasan
terhadap perempuan dengan instansi terkait : LSM, organisasi
kemasyarakatan lainnya dan organisasi profesi.
2.2.6.4 Memberikan pelayanan yang
dibutuhkan bagi korban kekerasan terhadap perempuan.
2.2.7
Kekerasan Terhadap Perempuan
Dari Perspektif Gender.
Faham gender memunculkan perbedaan
laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan.
Sebagai kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah.
Oleh karena gender bagaimana
seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki
akibat gender ternyata melahirkan ketidak adilan
dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi,
stereotype. Bentuk ketidak adilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut
di atas terjadi karena adanya keyakinan bahwa
kodrat perempuan itu halus dan posisinya di bawah laki-laki, bersifat melayani dan tidak sebagai kepala rumah
tangga. Dengan demikian maka perempuan disamakan dengan barang (properti) milik laki-laki sehingga dapat
diperlakukan sewenang-wenang. Pola hubungan demikian membentuk sistem patriarki. Sistem
ini hidup mulai dari tingkat kehidupan masyarakat kelas bawah,
kelas menengah dan bahkan sampai pada tingkat kelas
tinggi. Mulai dari individu, keluarga, masyarakat dan negara.
2.2.8 Perkosaan
2.2.8.1
Jenis Perkosaan
dan kekerasan Seksual
1)
Perkosaan oleh orang yang kita
kenal
a. Perkosaan
oleh suami atau bekas suami.
Bila hukum dan tradisi
memperlakukan wanita sebagai hak milik dari suami, maka suami akan berfikir bahwa dia punya hak penuh untuk menuntut pelayanan seksual dari istri kapanpun dia kehendaki, meskipun si
wanita tidak menginginkannya.
b.
Seorang wanita bisa diperkosa
oleh pacarnya.
Pacarnya mungkin bilang bahwa dia
punya hak untuk hubungan seksual karena dia telah menghabiskan uang
untuk wanita tersebut, karena wanita sering menggoda yang menjurus
kearah seksual, atau karena dia telah melamar wanita tersebut.
c. Perkosaan
di tempat Kerja
Seorang wanita mungkin dipaksa
untuk hubungan seksual oleh seorang teman kerja atau oleh atasannya,
sehingga wanita tersebut bisa tetap bekerja. Wanita itu mungkin diancam dengan kehilangan pekerjaan atau
hukuman lain bila dia menceritakan kepada orang
lain.
d.
Perkosaan pada anak-anak
Seorang anak laki-laki atau
perempuan bisa diperkosa oleh pria anggota keluarga atau orang dewasa lain.
2) Perkosaan
oleh orang yang tidak dikenal.
2.2.8.2
Reaksi sesudah
perkosaan
1) Perasaan mudah marah.
2) Takut, cemas, gelisah.
3) Merasa bersalah.
4) Malu, reaksi-reaksi lain yang
bercampur aduk.
5) Menyalahkan diri sendiri.
6) Menangis bila teringat peristiwa
tersebut.
7) Ingin melupakan peristiwa
perkosaan yang telah dialami.
8) Merasa diri tidak normal, kotor, berdosa, tidak berguna.
9) Merasa lelah, tidak ada gairah dan
tidak bisa tidur.
10) Selalu ingin muntah, perut dan
vagina terasa sakit.
11)
Ingin bunuh diri.
2.2.8.3
Tindakan yang harus
dilakukan bila terjadi perkosaan.
1)
Korban harus segera melapor ke polisi. Di Kepolisian
korban akan diantar ke dokter untuk mendapatkan visum etrepertum atau kalau
terpaksa korban bisa datang ke rumah sakit terlebih dahulu agar dokter bisa
memberikan surat keterangan. Mintalah dokter untuk menghubungi polisi.
2)
Jangan membersihkan diri atau mandi karena sperma,
serpihan kulit ataupun rambut pelaku yang bisa dijadikan barang bukti akan
hilang. Sperma hanya hidup dalam waktu 2 x 24 jam. Simpan pakaian,
barang-barang lain yang anda pakai, ataupun kancing/robekan baju pelaku yang
bisa dijadikan barang bukti. Serahkan barang-barang tersebut kepada polisi
dalam keadaan asli (jangan dicuci atau dirubah bentuknya). Apabila korban takut
pergi sendiri ke polisi, ajaklah teman/saudara untuk menemani.
3)
Yakinkan diri bahwa korban perkosaan bukanlah orang yang
bersalah. Pelaku perkosaanlah yang harus dihukum. Korban berhak untuk
melaporkan pelaku agar bisa dihukum sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.
2.2.8.4
Kiat-kiat menghindari perkosaan
1)
Bertingkah laku wajar.
2)
Bersikap tegas, tunjukkan sikap dan tingkah laku percaya
diri.
3)
Pandai-pandai membaca situasi. Berjalanlah cepat tapi
tenang.
4)
Hindari berjalan sendiri di tempat gelap dan sepi.
5)
Berpakaian sewajarnya yang memudahkan Anda untuk
lari/mengadakan perlawanan. Jangan memakai terlalu banyak perhiasan.
6)
Sediakanlah selalu “senjata” seperti: korek api, deodorant
spray (semprot), payung, dsb., dalam tas Anda.
7)
Apabila bepergian ke suatu tempat, harus sudah mengetahui
alamat lengkap, denah dan jalur kendaraan. Jangan kelihatan bingung, carilah
informasi pada tempat-tempat yang resmi.
8)
Jangan mudah menumpang kendaraan orang lain.
9)
Berhati-hatilah jika diberi minuman oleh seseorang.
10)
Jangan mudah percaya pada orang yang mengajak Anda
bepergian ke suatu tempat yang tidak kenal.
11)
Bacalah
tulisan-tulisan tentang perkosaan. Dengan demikian Anda bisa mempelajari
tanda-tanda pelaku dan modus operandinya.
12)
Pastikan jendela, pintu kamar, rumah, mobil Anda sudah
terkunci bila Anda di dalamnya.
13)
Belajar bela diri untuk pertahankan diri Anda sewaktu
diserang.
2.2.8.5
Pelecehan seksual pada wanita
Pelecehan seksual merupakan segala macam bentuk perilaku yang
berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh
orang yang menjadi sasaran, sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti: rasa
malu, tersinggung, marah, dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban. Dewasa
ini, penelitian di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia menunjukkan 5 % dan
20% wanita mengatakan pernah dianiaya secara fisik selama anak-anak atau remaja.
1) Macam-macam
pelecehan seksual
a.
Homoseksualitas (Lesbianisme)
Lebih dari 90% wanita menjalin hubungan yang stabil dan kepuasan
seks dengan anggota dari jenis kelamin yang melengkapi. Sekitar 5 % wanita atau
mungkin lebih, adalah biseksual, artinya pada saat-saat tertentu atau pada
periode tertentu dalam kehidupan mereka, mereka memilih untuk menjalin hubungan
seksual dengan seorang pria dan disaat yang sam berhubungan seksual dengan
seorang wanita.
Sekitar 5 %, wanita sama sekali tidak pernah tertarik kepada pria,
meskipun mereka mempunyai teman pria. Minat seks, kebutuhan menjalin hubungan,
dipenuhi dari wanita lain.
b.
Transeksualisme
Yaitu seseorang wanita percaya bahwa dia menempati tubuh seseorang
dari jenis kelamin lain. Secara psikologis dan emosional dia merasa sebagai
seorang pria.
2) Cara
Menghindari Pelecehan Seksual
a. Hindari orang yang melakukan
pelecehan seksual terhadap wanita lain di tempat kerja.
b.
Jangan pergi hanya dengan teman laki-laki.
2.3 Undang-undang tentang Perlindungan
Perempuan
Pada tahun 1993, deklarasi PBB tentang Penghapusan kekerasan
terhadap perempuan mengeluarkan definisi resmi pertama dari kekerasan berbasis
gender:
Pasal 1 : tindakan kekerasan
berbasis gender yang menghasilkan, atau mungkin mengakibatkan, kerugian fisik,
seksual atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman
dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan sewenang-wenang, baik terjadi
di publik ataupun dalam kehidupan pribadi.
Pasal 2 : menyatakan bahwa
Deklarasi definisi harus mencakup, tetapi tidak terbatas pada,tindakan
kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dalam keluarga, masyarakat, atau
dilakukan atau dibiarkan oleh negara, di mana pun itu terjadi. Tindakan ini
meliputi: pelecehan seksual, termasuk anak-anak perempuan, mas kawin yang berhubungan
dengan kekerasan; perkosaan, termasuk perkosaan; mutilasi alat kelamin
perempuan atau pemotongan dan praktek-praktek tradisional lainnya
berbahaya bagi perempuan; non-kekerasan terhadap pasangan; kekerasan seksual
yang berhubungan dengan eksploitasi; pelecehan seksual dan intimidasi di tempat
kerja, di sekolah dan di tempat lain, perdagangan perempuan, dan pelacuran
paksa (Rahmi : 2012).
Menurut pasal 2 konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan (CEDAW) menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan
termasuk kekerasan seksual, fisik, dan psikologis, meliputi:
1.
Di dalam keluarga: pemukulan, pelecehan seksual terhadap
anak, mutilasi alat kelamin perempuan dan pemerkosaan.
2.
Di dalam masyarakat: pelecehan seksual, pelecehan seksual
sekaligus intimidasi,perdagangan manusia dan pelacuran paksa.
3.
Negara: dalam hal berkaitan dengan negara contohnya yaitu
buruknya rancangan dan penegakan hukum untuk kekerasan terhadap perempuan, agen
penegak hukum yang melanggar hukun, kurangnya fasilitas dan pendidikan untuk
pencegahan dan pengobatan perempuan korban kekerasan, sanksi dan penguatan
gender yang tidak setara. Selain itu ketidak pedulian negara dan penelantaran
dalam memberikan dan menciptakan peluangbagi perempuan dalam haknya untuk
bekerja, berpartisipasi, pendidikan, dan akses kelayanan sosial (Rahmi : 2012).
2.4 Kasus
2.4.1
Kasus Tragedi Rohingya
Dikutip
dari : http://www.kompasiana.com//
Berikut ini adalah kronologi lengkap pemicu tragedi Rohingya dari surat
kabar Myanmar dan dari beberapa media internasional. Surat kabar The New Light of
Myanmar edisi 4 Juni 2012 melaporkan satu berita mengenai pemerkosaan dan
pembunuhan seorang gadis oleh tiga orang pemuda:
1)
Insiden Pemerkosaan dan Pembunuhan
“NAY PYI TAW, 4 Juni - Dalam perjalanan menuju rumah dari tempat bekerja
sebagai tukang jahit, Ma Thida Htwe, seorang gadis Buddha berumur 27 tahun,
putri U Hla Tin, dari perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauknimaw, Yanbye,
ditikam sampai mati oleh orang tak dikenal. Lokasi kejadian adalah di hutan
bakau dekat pohon alba di samping jalan menuju Kyaukhtayan pada tanggal 28 Mei
2012 pukul 17:15.
Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Kantor Polisi Kyauknimaw oleh U
Win Maung, saudara korban. Kantor polisi memperkarakan kasus ini dengan Hukum
Acara Pidana pasal 302/382 (pembunuhan / pemerkosaan). Lalu Kepala kepolisian
distrik Kyaukpyu dan personil pergi ke Desa Kyauknimaw pada 29 Mei pagi untuk
pencarian bukti-bukti lalu menetapkan tiga tersangka, yaitu Htet Htet (a)
Rawshi bin U Kyaw Thaung (Bengali/Muslim), Rawphi bin Sweyuktamauk
(Bengali/Muslim) dan Khochi bin Akwechay (Bengali/ Muslim).
Penyelidikan menunjukkan bahwa Htet Htet (a) Rawshi tahu rutinitas
sehari-hari korban yang pulang-pergi antara Desa Thabyechaung dan Desa
Kyauknimaw untuk menjahit. Menurut pengakuannya dia berbuat dipicu oleh
kebutuhan uang untuk menikahi seorang gadis, dan berencana untuk merampok
barang berharga yang dipakai korban. Bersama dengan Rawphi dan Khochi, Rawshi
menunggu di pohon alba dekat tempat kejadian. Tak lama Ma Thida Htwe yang
diincarnya datang dan berjalan sendirian, ketiganya lalu menodongkan pisau dan
membawanya ke hutan. Korban lalu diperkosa dan ditikam mati, tak lupa merenggut
lima macam perhiasan emas termasuk kalung emas yang dikenakan korban.
Untuk menghindari kerusuhan rasial dan ancaman warga desa kepada para
tersangka, aparat kepolisian setempat bersiaga dan mengirim tiga orang pelaku
tersebut ke tahanan Kyaukpyu pada tanggal 30 Mei pukul 10.15.
Pada pukul 13:20 hari yang sama, sekitar 100 warga dari Rakhine
Kyauknimaw tiba di Kantor Polisi Kyauknimaw dan menuntut agar tiga orang pelaku
pembunuh diserahkan kepada mereka namun dijelaskan oleh pihak kepolisian bahwa
mereka sudah dikirim ke tahanan.
Massa yang mendatangi kepolisian tidak puas dengan itu dan berusaha
untuk masuk kantor polisi. Polisi terpaksa harus menembakkan lima tembakan
untuk membubarkan mereka.
Pada pukul 13:50 100 warga Rakhine Desa Kyauknimaw lalu meninggalkan
kantor polisi menuju Kantor Pemerintahan untuk menyampaikan keinginannya dengan
diikuti oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadi keributan.
Pukul 16.00, para pejabat tingkat Kota menerima dan memberikan
klarifikasi untuk menghindari kerusuhan, dan penduduk desa meninggalkan kantor
pada pukul 17:40.
Keesokan harinya, 31 Mei pukul 9 pagi, mereka meninggalkan Yanbye ke
Desa Kyauknimaw dengan dua perahu. Mereka pulang dengan membawa santunan
sebesar 1 juta Kyat (mata rupiah Myanmar) untuk desa dari Menteri Perhubungan,
U Kyaw Khin, 600.000 Kyat dan lima set jubah untuk pemakaman korban serta
ditambah 100.000 Kyat dari santunan perwakilan negara.
Pada 31 Mei 15:05 Menteri Dalam Negeri dan Keamanan Perbatasan Negara,
wakil kepala Kantor Polisi, Kabupaten Kyaukphyu dan Kepala Kantor Polisi
Distrik berpartisipasi dalam pemakaman korban dan mengadakan diskusi dengan
penduduk desa.
Pada 1 Juni pukul 9 pagi Kepala Menteri Negara dan partai di Kyaukpyu
mengadakan diskusi dengan organisasi pemuda Kyaukpyu atas kasus pembunuhan
tersebut. Diskusi-diskusi terutama menyinggung menjatuhkan hukuman jera pada
para pembunuh dan membantu mencegah kerusuhan saat mereka sedang diadili.”
2)
Insiden 10 Orang Muslim Dibunuh Dalam Bis
Menurut berita harian New Light dan beberapa blog
orang Myanmar menyebutkan bahwa beredar foto-foto dan informasi bahwa “menurut
bukti forensik polisi dan juga saksi mata yang melihat tubuh korban, ia
diperkosa beberapa kali oleh tiga pemuda Bengali Muslim dan tenggorokannya
digorok, dadanya ditikam beberapa kali dan organ wanitanya ditikam dan
dimutilasi dengan pisau.
Setelah itu lebih dari seribu massa marah dan hampir menghancurkan
kantor polisi di mana tiga pelaku ditangkap. Lalu kasus terburukl dan pemicu
tragedi Ronghya adalah pembantaian terhadap 10 orang Muslim peziarah yang ada
dalam sebuah bus di Taunggup dalam perjalanan dari Sandoway ke Rangoon pada
tanggal 4 Juni.”
Koran New Light
Myanmar edisi 5 Juni memberitakan rincian mengenai pembunuhan
sepuluh orang Burma Muslim oleh massa Arakan sebagai berikut:
“Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang dibunuh kejam pada tanggal
28 Mei, sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association,
Taunggup, membagi-bagikan selebaran sekitar jam 6 pagi pada 4 Juni kepada
penduduk lokal di tempat-tempat ramai di Taunggup, disertai foto Ma Thida Htwe
dan memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah membunuh dan memperkosa
dengan keji wanita Rakhine.
Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan
orang Muslim dalam sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangon dan berhenti
di Terminal Bus Ayeyeiknyein.
Petugas terminal lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangon
dengan segera. Bus berisi penuh sesak oleh penumpang.
Beberapa orang dengan mengendarai sepeda motor mengikuti bus. Ketika
bus tiba di persimpangan Thandwe-Taunggup, sekitar 300 orang lokal sudah
menunggu di sana dan menarik penumpang yang beridentitas Muslim keluar dari
bus. Dalam bentrokan itu, sepuluh orang Islam tewas dan bus juga hancur.
Konflik sejak insiden 10 orang Muslim terbunuh terus memanas di kawasan
Arrakan, Burma, muslim Rohingya menjadi sasaran. Seperti dilansir media
Al-Jazeera, Hal ini dipicu juga oleh bibit perseteruan yang sudah
terpendam lama, yaitu perseteruan antara kelompok etnis Rohingya yang Muslim
dan etnis lokal yang beragama Buddha. Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh
pemerintah setempat. Ditambah lagi agama yang berbeda. Dari laporan berbagai
berita sampai saat ini sejak insiden tersebut sudah terjadi tragedi pembantaian
etnis Rohingya (yang notabene beragama Islam) lebih dari 6000 orang.**[harja
saputra]
2.4.2
Analisa Kasus
Dari kasus diatas jelas bahwa perempuan adalah korban dari kekerasan
yang meliputi tindakan fisik, psikologi maupun seksual. Dari segi fisik
perempuan tersebut telah mengalami penganiayaan yang pada akhirnya sampai
pembunuhan. Dari segi psikologi perempuan tersebut bisa mengalami gangguan
mental, trauma terhadap hubungan seksual, disfungsi seksual. Dan dari segi seksual jelas bahwa
perempuan tersebut mengalami pelecehan seksual. Korban dari perkosaan tersebut
juga akan beresiko HIV/AIDS ataupun IMS. Kasus perkosaan dan pembunuhan di atas
telah melanggar Hak-Hak Reproduksi perempuan antara lain :
a.
Hak atas kebebasan dan keamanan yang
berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
b.
Hak untuk bebas dari penganiayaan dan
perlakuan buruk termasuk perlindungan dari pelecehan, perkosaan, kekerasan,
penyiksaan seksual.
Selain itu juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu : a) Hak untuk
hidup; b) Hak atas keamanan seseorang; c) Hak atas non-diskriminasi dan kesetaraan;
d) Hak atas kesehatan; e) Hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam,
merendahkan dan tidak manusiawi.
Kasus pemerkosaan terhadap perempuan di daerah konflik bukanlah
merupakan isu yang baru. Kasus-kasus ini telah terjadi sejak pertama kali perang
antar manusia berlangsung. Perkosaan telah digunakan berkali-kali sebagai
taktik atau senjata dalam perang. Pemerkosaan merupakan bagian dari kekerasan
berdasarkan gender atau yang lebih dikenal dengan Gender Based
Violence (GBV), namun GBV mencakup lebih luas tidak hanya berkaitan dengan
pemerkosaan. Perang dan GBV memiliki keterkaitan yang erat. Dimana perempuan
seringkali menjadi korban dalam jumlah besar. . Perang sering kali memberikan
efek yang buruk bagi rakyat sipil, terutama perempuan. Meskipun pada dasarnya
baik perempuan maupun laki-laki memiliki potensi yang sama menjadi korban,
namun mereka mengalami dalam bentuk yang berbeda. Laki-laki umumnya dipaksa
untuk pergi berperang dan terbunuh di dalam aksi senjata, sementara perempuan
mengalami kekerasan seksual, pemaksaan kehamilan, penculikan, perkosaan,
perbudakan seksual dan pemaksaan prostitusi.
Terdapat berbagai definisi mengenai Gender Based Violence (GBV).
Menurut UN Commissioner for Refugees mendefinisikan GBV sebagai: “ gender-based
violence (GBV) refers to violence that targetsa person or a group of persons
because of gender”. Dalam hal ini GBV berarti kekerasan yang ditargetkan kepada
seseorang atau sekelompok orang karena gender mereka. Sedangkan Komite
penghapusan Kekerasan terhadap perempuan mengartikan dengan lebih luas, yaitu
termasuk kepada tindakan yang mengakibatkan kerugian fisik, mental atau seksual
atau penderitaan, ancaman tindakan, serta paksaan dan perampasan kebebasan
lainnya berdasarkan gender mereka. Sedangkan menurut UNIFEM (United
Nations Introduction dalam “Women War Peace” GBV memasukkan konteks baru
ke dalam pendefinisian GBV, yaitu memasukkan unsur hubungan kekuasaan yang
tidak setara antara perempuan dan laki-lakidalam masyarakat. Pada umumnya GBV
ditimbulkan oleh laki-laki terhadap perempuan. Oleh karena itu pada tahun 1993,
deklarasi PBB tentang Penghapusan kekerasan terhadap perempuan mengeluarkan
definisi resmi pertama dari kekerasan berbasis gender: Pasal 1 : tindakan
kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau mungkin mengakibatkan,
kerugian fisik, seksual atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan,
termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan sewenang-wenang,
baik terjadi di publik ataupun dalam kehidupan pribadi. Pasal2 : menyatakan
bahwa Deklarasi definisi harus mencakup, tetapi tidak terbatas pada, tindakan
kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dalam keluarga, masyarakat, atau
dilakukan atau dibiarkan oleh negara, di mana pun itu terjadi. Tindakan ini
meliputi: pelecehan seksual, termasuk anak-anak perempuan, mas kawin yang berhubungan
dengan kekerasan; perkosaan, termasuk perkosaan; mutilasi alat kelamin
perempuan atau pemotongan dan praktek-praktek tradisional lainnya
berbahaya bagi perempuan; non-kekerasan terhadap pasangan; kekerasan seksual
yang berhubungan dengan eksploitasi; pelecehan seksual dan intimidasi di tempat
kerja, di sekolah dan di tempat lain, perdagangan perempuan, dan pelacuran
paksa.
Jika didefinisikan sesuai dengan penggunaan kata, GBV tidak hanya
melingkupi perempuan, namun biasanya perempuan selalu menjadi korban, hal ini
disebabkan perempuan lebih rentan mengalami kekerasan. Hal ini muncul berkaitan
dengan hubungan kekuasaan yang tidak setara, baik itu dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bahkan negara. Oleh karena itu muncul berbagai istilah yang
digunakan untuk menggambarkan GBV, seperti “kekerasan seksual”, “kekerasan
terhadap perempuan”, dan lainnya.
Meskipun konsep GBV seolah-olah khusus pada korban perempuan, namun
laki-laki dapat mengalami kekerasan berbasis gender ini. Namun, kekerasan yang
mengalami lebih kepada diskriminasi jika mereka menyimpang dari konsep
“maskulinitas”. Dapat dikatakan disini bahwa jika pria yang mengalami kekerasan
dan diskriminasi gender hal ini disebabkan ketika mereka tidak menunjukkan sisi
ke-maskulinitas mereka seperti yang seharusnya. Contohnya seperti yang dialami
oleh para kaum LGBT. Menurut sebuah lembaga penelitian Internasional secara
keseluruhan di seluruh dunia, laki-laki memiliki tingkat kekerasan fisik
daripada wanita. Namun kekerasan ini diakibatkan oleh sesama mereka sendiri
dalam perang, perkelahian antar geng, kekerasan di sekolah dan jalanan. Sedangkan
perempuan mengalami kekerasan dari lawan jenis mereka. Menurut pasal 2 konvensi
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW)
menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual,
fisik, dan psikologis, meliputi:
1)
Di dalam keluarga: pemukulan,
pelecehan seksual terhadap anak, mutilasi alat kelamin perempuan dan
pemerkosaan.
2)
Di dalam masyarakat: pelecehan
seksual, pelecehan seksual sekaligus intimidasi,perdagangan manusia dan
pelacuran paksa.
3)
Negara: dalam hal berkaitan dengan
negara contohnya yaitu buruknya rancangan dan
penegakan hukum untuk kekerasan terhadap perempuan, agen penegak hukum
yang melanggar hukun, kurangnya fasilitas dan pendidikan untuk pencegahan dan
pengobatan perempuan korban kekerasan, sanksi dan penguatan gender yang tidak
setara. Selain itu ketidak pedulian negara dan penelantaran dalam memberikan
dan menciptakan peluangbagi perempuan dalam haknya untuk bekerja,
berpartisipasi, pendidikan, dan akses kelayanan sosial.
Kasus-kasus GBV dapat ditemukan di negara-negara yang sedang
berkonflik, baik itu konflik internal maupun konflik eksternal negara. Menurut
data dari UNFPA berkaitan dengan kasus GBV di seluruh dunia yaitu, satu dari
tiga wanita telah dipukuli dan dipaksa melakukan hubungan seks. Baik itu oleh
kenalan maupun anggota keluarga. Selanjutnya pelaku GBV seringkali tidak
tersentuh oleh hukum. Setiap tahun ratusan ribu perempuan dan
anak-anak diperdagangkan dan diperbudak, sedangkan jutaan lainnya menjadi
objek praktek berbahaya. Menurut hasil laporan dari Oxfam kanada terdapat 16
fakta mengenai GBV, yaitu:
a.
Di seluruh dunia, sebanyak 1 dari
setiap 3 wanita telah dipukuli, dipaksa melakukan hubungan seks, atau
dilecehkan dengan cara lain - yang paling sering oleh seseorang yang
dikenalnya, termasuk oleh suaminya atau anggota keluarga laki-laki.
b.
Wanita lebih rentan terhadap
kekerasan selama masa krisis karena ketidakamanan yang meningkat.
c.
1 dari 5 wanita akan menjadi korban
perkosaan atau percobaan perkosaan dalamhidupnya.
d.
Sekitar 1 dari 4 wanita
disalahgunakan selama kehamilan, yang menempatkan ibu dan anak beresiko.
e.
Hukum yang mempromosikan kesetaraan
gender sering tidak diterapkan.
f.
Setidaknya 130 juta perempuan telah
dipaksa menjalani mutilasi alat kelamin perempuan (FGM).
g.
Sedikitnya 60 juta anak perempuan
yang seharusnya dapat diharapkan untuk hidup yang hilang dari berbagai populasi
sebagai akibat dari aborsi atau kelalaian.
h.
Lebih dari setengah juta perempuan
terus meninggal setiap tahun dari kehamilan dan persalinan yang berhubungan
dengan tingkat infeksi HIV di kalangan perempuan meningkat pesat.
i.
Pelaku kekerasan berbasis gender
seringkali tidak dihukum.
j.
Di seluruh dunia, perempuan dua kali
lebih mungkin sebagai laki-laki untuk buta huruf, membatasi kemampuan mereka
untuk menuntut hak dan perlindungan.
k.
Pernikahan dini dapat memiliki
konsekuensi serius termasuk berbahaya, penolakan pendidikan, masalah kesehatan,
termasuk kehamilan prematur, yang menyebabkan tingginya tingkat kematian ibu
dan bayi. Ketidakseimbangan kekuasaan juga berarti bahwa pengantin muda tidak
dapat menegosiasikan penggunaan kondom atau protes ketika suami mereka terlibat
dalam luar nikah hubungan seksual.
l.
Kekerasan terhadap perempuan
merupakan menguras tenaga kerja produktif secara ekonomi.
m.
Setiap tahun, diperkirakan 800.000
orang diperdagangkan melintasi perbatasan 80 persendari mereka perempuan dan
anak perempuan. Kebanyakan dari mereka akhirnya terjebak dalam perdagangan
seks komersial.
n.
Kekerasan berbasis gender juga
berfungsi dengan niat atau efek untuk melanggengkan kekuasaan laki-laki dan
kontrol..
BAB
3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Persoalan kesehatan reproduksi
bukan hanya mencakup persoalan kesehatan reproduksi wanita secara sempit dengan
mengaitkannya pada masalah seputar perempuan usia subur yang telah menikah,
kehamilan dan persalinan, pendekatan baru dalam program kependudukan memperluas
pemahaman persoalan kesehatan reproduksi. Dimana seluruh tingkatan hidup
perempuan merupakan fokus persoalan kesehatan reproduksi. Secara tematik, ada
lima kelompok masalah yang diperhatikan dalam kesehatan reproduksi, yaitu
kesehatan reproduksi itu sendiri, keluarga berencana, PMS dan pencegahan
HIV/AIDS, seksualitas hubungan manusia dan hubungan gender, dan remaja. Secara
lebih spesifik, berbagai masalah dalam kesehatan reproduksi adalah perawatan kehamilan,
pertolongan persalinan, infertilitas, menopause, penggunann kontrasepsi,
kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi baik pada remaja maupun pasangan yang
telah menikah, PMS dan HIV/AIDS (berkaitan dengan prostitusi, homoseksualitas,
gaya hidup dan praktek tradisional), pelecehan dan kekerasan pada perempuan,
pekosaan, dan layanan dan informasi pada remaja.
Berfungsinya sistem reproduksi
wanita dipengaruhi oleh aspek-aspek dan proses-proses yang terkait pada setiap
tahap dalam lingkungan hidup. Masa kanak-kanak, remaja pra -nikah, reprodukstif
baik menikah maupun lajang, dan menopause akan dilalui oleh setiap perempuan,
dan pada masa- masa tersebut akan terjadi perubahan dalam sistem reproduksi.
Akibat yang muncul dari GBV (Gender
Based Violence) biasanya bersifat menghancurkan, terutama bagi korbannya.
Korban sering kali mengalami gangguan emosi, mengalami gangguan mental serta
kesehatan reproduksi yang buruk. Perempuan korban kekerasan juga beresiko
tinggi tertular HIV. Selain itu untuk jangka panjang para korban akan
memerlukan pelayanan kesehatan intensif. Tidak hanya bagi korban itu sendiri,
GBV juga memberikan dampak bagi anak-anak yang menjadi saksi. Mereka akan
mengalami kerusakan psikologis yang akan sulit untuk disembuhkan.
3.2
Saran
Sehubungan dengan fakta
bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh hubungan seksual,
tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan ksesadaran
kemandirian wanita dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk
kehidupan seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang
pada akhirnya menuju penimgkatan kualitas hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Diah Widyatun (2012). Konsep Dasar Kesehatan Reproduksi. Semarang.
www.blogspot.com
(16/04/13)
Imamah.
2009. Perempuan dan Kesehatan Reproduksi. Surabaya. Jurnal
Kesetaraan dan Keadilan Gender, Pusat Studi. Vol. IV Nomor 2 ( Hal 199–206)
Juliandi
Harahap. 2003. Kesehatan Reproduksi.
Sumatera Utara. www repository.usu.ac.id (17/04/13)
Rahmi
Yulia.2012. Gender Based Violence in
Internation. www.academia.edu (16/04/13)
Riska Asri Puspita Dewi (2012). Kesehatan Reproduksi.Surabaya
www.id.scribd.com
(16/04/13)
Sri Rahayu Sanusi (2005). Hak
Kesehatan Reproduksi, Definisi, Tujuan, Permasalahan, dan Faktor-faktor Penghambatnya. Sumatra Utara www.usu.ac.id (16/04/13)
widyaiswara (2009). Gender, kekuasaan, dan kesehatan Reproduksi
www.bkkbn.go.id
(16/04/13)
www.digilib.unimus.ac
(16/04/13)
www.publikasi.umy.ac.id
(16/04/13)
No comments:
Post a Comment