Thursday, May 30, 2013

Kekerasan terhadap anak dan perempuan


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. Demi tercapainya derajat kesehatan yang tinggi, maka wanita sebagai penerima kesehatan, anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan dalam keluarga, supaya anak tumbuh sehat sampai dewasa sebagai generasimuda. Oleh sebab itu wanita, seyogyanya diberi perhatian sebab :
(1) Wanita menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi pria berkaitan dengan fungsi reproduksinya, (2) Kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak yangdikandung dan dilahirkan, (3) Kesehatan wanita sering dilupakan dan ia hanya sebagai objek dengan mengatasnamakan pembangunan seperti program KB, dan pengendalian jumlah penduduk, (4) Masalah kesehatan reproduksi wanita sudah menjadi agenda Intemasional diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil Konferensi mengenai kesehatanreproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo) (Dewi, 2012).
Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya. Oleh karena itu, kesehatan reproduksi berarti orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah. Termasuk terakhir ini adalah hak pria dan wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara-cara keluarga berencana yang aman, efektif dan terjangkau, pengaturan fertilitas yang tidak melawan hukum, hak memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan kesehatan yang memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan dan melahirkan anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki bayi yang sehat. Sejalan dengan itu pemeliharaan kesehatan reproduksi merupakan suatu kumpulan metode, teknik dan pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi melalui pencegahan dan penyelesaian masalah kesehatan reproduksi. Ini juga mencakup kesehatan seksual, yang bertujuan meningkatkan status kehidupan dan hubungan-hubungan perorangan, dan bukan semata-mata konseling dan perawatan yang bertalian dengan reproduksi dan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks.
Berdasarkan pemikiran di atas kesehatan wanita merupakan aspek paling penting disebabkan pengaruhnya pada kesehatan anak-anak. Oleh sebab itu pada wanita diberi kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai dengan kebutuhannya di mana ia sendiri yang memutuskan atas tubuhnya sendiri.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa kesehatan reproduksi pada perempuan itu?
1.2.2        Bagaimana cara mengenali masalah pada kesehatan reproduksi?
1.2.3        Bagaimana contoh kasus dari permasalahan kesehatan reproduksi pada perempuan itu?

1.3  Tujuan
1.3.1        Untuk mengetahui teori tentang kesehatan reproduksi pada perempuan.
1.3.2        Untuk mendalami masalah kesehatan reproduksi pada perempuan.
1.3.3        Untuk mengetahui kasus dari permasalahan kesehatan reproduksi pada perempuan serta cara mengatasinya.


BAB 2
KONSEP TEORI

2.1  Konsep Kesehatan Reproduksi
2.1.1     Pengertian Kesehatan Reproduksi Perempuan
Berdasarkan Konferensi Wanita sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994 sudah disepakati perihal hak-hak reproduksi tersebut. Dalam hal ini (Cholil, 1996 dalam Savitri, 2003) menyimpulkan bahwa terkandung empat hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health), penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making), kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women) dan keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security).
Reproduksi adalah suatu istilah yang masih asing di telinga masyarakat, terlebih lagi perempuan pedesaan. Bagaimanapun semua perempuan dewasa telah mengalami sendiri proses dari reproduksi, mulai dari mentruasi, hubungan seksual, hamil, melahirkan dan menopouse. Ironisnya, tidak semua orang mengetahui bagaimana menciptakan suatu kondisi reproduksi yang sehat termasuk pada perempuan pedesaan. Maka dari itu untuk mengetahui bagaimana menciptakan suatu keadaan yang baik dan sehat diperlukan suatu perawatan terhadap reproduksi perempuan termasuk organ-organ reproduksi (Imamah, 2009).
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala aspek yang behubungan dengan sistem reproduksi (Wahid, 1996: 14). Agar dapat melaksanakan fungsi rerproduksinya secara sehat, dalam pengertian fisik, mental maupun sosial, diperlukan beberapa prasyarat, yakni: pertama, agar tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis. Kedua, agar perkembangan emosinya berlangsung dengan baik maka diperlukan landasan psikis yang memadai. Ketiga, setiap orang hendaknya terbebas dari kelainan atau penyakit yang langsung maupun tidak langsung mengenai organ reproduksinya. Keempat, seorang perempuan hamil memerlukan jaminan bahwa ia akan dapat melewati rasa tersebut dengan aman.
2.1.2     Sejarah Perkembangan Kesehatan Reproduksi
2.1.2.1    Konferensi di Wina, 1993
Mendiskusikan HAM dalam perspektif gender dan isu kontroversial mengenai hak reproduksi. Mendeklarasikan “HAP dan anak perempuan adalah mutlak, terpadu dan merupakan bagian dari HAM (Dewi, 2012).
2.1.2.2    ICPD (International Conference on Population Development)
Disponsori oleh PBB yang dihadiri oleh 180 negara dan bertempat di Cairo Mesir, yang menghasilkan kebijakan program kependudukan (Program Aksi 20 tahun) yang menyerukan agar setiap negara meningkatkan status kesehatan, pendidikan dan hak individu khususnya perempuan dan anak, mengintegrasikan program KB kedalam agenda kesehatan perempuan yang lebih luas (Wallstam, 1977).
2.1.2.3    Konferensi perempuan sedunia ke 4 di Beijing (Fourth World Conference on Women) 1995
Menghasilkan platform 12th Critical Area of concern yang dianggap sebagai penghambat utama kemajuan kaum perempuan.
2.1.3     Ruang lingkup kesehatan reproduksi
Dalam penerapan kesehatan reproduksi pada pelayanan kesehat an dasar diprioritaskan suatu paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Essensial (PKRE), yang meliputi:
2.1.3.1        Kesehatan Ibu dan Anak Baru Lahir (Safe Motherhood)
Upaya peningkatan derajat kesehatan ibu, bayi (kesehatan ibu dan bayi baru lahir) dan anak dipengaruhi oleh kesadaran dalam perawatan dan pengasuh anak.
Sebagian besar kematian ibu disebabkan oleh faktor kesehatan-kesehatan, antara lain :
a)      Perdarahan saat melahirkan.
b)      Eklamsia.
c)      Infeksi.
d)     Persalinan macet.
e)      Keguguran.
Sedangkan faktor non kesehatan antara lain kurangnya pengetahuan ibu yang berkaitan dengan kesehatan termasuk pola makan dan kebersihan diri.
2.1.3.2        Keluarga Berencana.
Keluarga Berencana dalam hal ini adalah penggunaan alat kontrasepsi. Seperti kita ketahui selama ini ada anggapan bahwa KB adalah identik dengan urusan perempuan.
2.1.3.3        Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS.
Dari berbagai jenis PMS yang dikenal, dampak yang sangat berat dirasakan oleh perempuan, yaitu berupa rasa sakit yang hebat pada kemaluan, panggul dan vagina, sampai pada komplikasi dengan akibat kemandulan, kehamilan diluar kandungan serta kanker mulut rahim.
Infertilitas adalah suatu keadaan dimana pasangan yang telah menikah dan ingin punya anak tetapi tidak dapat mewujudkannya karena ada masalah kesehatan reproduksi baik pada suami maupun istri atau keduanya.
a.       Infertilitas primer.
b.      Infertilitas sekunder.
c.       Infertilitas idiopatik.
2.1.3.4        Kesehatan Reproduksi Remaja.
Lembar fakta yang diterbitkan oleh PKBI, United Nations Population Fund (UNFPA) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan. Setiap tahun, masih menurut lembar fakta tersebut, sekitar2,3 juta kasus aborsi juga terjadi di Indonesia dan 20 persen nya dilakukan oleh remaja.
Disamping itu dikenal pula paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK), yaitu PKRE yang dilengkapi dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut.
2.1.3.5        Kesehatan Reproduki Lanjut Usia
Kesehatan reproduksi meliputi kesehatan fisik dan mental setiap individu sepanjang siklus kehidupannya sehingga pemeliharaan kesehatan pasca reproduksi (sering juga disebut dengan kesehatan lansia) juga perlu mendapat perhatian kita bersama. Masa pasca reproduksi ini ditandai dengan terjadinya penurunan berbagai fungsi alat/organ tubuh (Endang, 2008).
Lansia atau Lanjut usia, menurut WHO : Pra lansia 45–54 tahun, Lansia 55–64 tahun, Aging people 65 tahun keatas. Menurut BKKBN Lansia adalah 60 tahun ke atas.
2.1.4     Hak-Hak Reproduksi
Hak adalah kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan atau tidak melakukan, memperoleh atau tidak memperoleh sesuatu (Sanusi, 2005).
Hak dan kesehatan reproduksi menjadi dua konsep yang tidak terbatas pada persoalan medis organ reproduksi saja (Sanusi, 2005).
Konferensi internasional kependudukan dan pembangunan, disepakati hal-hal reproduksi yang bertujuan untuk mewujudkan kesehatan bagi individu secara utuh, baik kesehatan rohani dan jasmani, meliputi :
2.1.4.1       Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
2.1.4.2       Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
2.1.4.3       Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
2.1.4.4       Hak dilindungi dan kematian karena kehamilan.
2.1.4.5       Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kehamilan.
2.1.4.6       Hak atas kebebasan dan keamanan yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
2.1.4.7       Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari pelecehan, perkosaan, kekerasan, penyiksaan seksual.
2.1.4.8       Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu penetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
2.1.4.9       Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
2.1.4.10   Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
2.1.4.11   Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam berkeluarga dan kehidupan kesehatan reproduksi.
2.1.4.12   Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Menurut BKKBN tahun 2000, kebijakan teknis operasional di Indonesia untuk mewujdkan pemenuhan hak-hak reproduksi :
a)    Promosi hak-hak kesehatan reproduksi.
b)    Advokasi hak-hak kesehatan reproduksi.
c)    KIE hak-hak kesehatan reproduksi.
d)    System pelayanan hak-hak reproduksi (Diah, 2012).
Hak asasi manusia yang penting untuk kesehatan reproduksi termasuk :
1)      Hak untuk hidup.
2)      Hak atas keamanan seseorang.
3)      Hak untuk memutuskan jumlah, jarak dan waktu memiliki anak.
4)      Hak atas non-diskriminasi dan kesetaraan.
5)      Hak atas privasi.
6)      Hak atas kesehatan.
7)      Hak untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
8)      Hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam, merendahkan dan tidak manusiawi.
9)      Hak atas bantuan.
10)  Hak atas manfaat kemajuan ilmiah (Widyaiswara, 2009).
2.1.5     Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi.
2.1.5.1    Faktor sosial ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil);
2.1.5.2    Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dan sebagainya);
2.1.5.3    Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli kebebasannya secara materi, dan sebagainya);
2.1.5.4    Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual, dan sebagainya).
Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua tingkat administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan, pendidikan, sosial dan pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Sehubungan dengan fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh hubungan seksual, tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan kesadaran kemandirian perempuan dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju peningkatan kualitas hidupnya. Dari tujuan umum tersebut dapat dijabarkan empat tujuan khusus yaitu :
a)      Meningkatnya kemandirian perempuan dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksinya.
b)      Meningkatnya hak dan tanggung jawab sosial perempuan dalam menentukan kapan hamil, jumlah dan jarak kehamilan.
c)      Meningkatnya peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari perilaku seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anak-anaknya.
d)     Dukungan yang menunjang perempuan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan proses reproduksi, berupa pengadaan informasi dan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk mencapai kesehatan reproduksi secara optimal.
Tujuan diatas ditunjang oleh undang-undang No. 23/1992, bab II pasal 3 yang menyatakan: “penyelenggaraan upaya kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat”, dalam bab III pasal 4 “ setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”.
2.1.6     Indikator Permasalahan Kesehatan Reproduksi Perempuan
Dalam pengertian kesehatan reproduksi secara lebih mendalam, bukan semata-mata sebagai pengertian klinis (kedokteran) saja tetapi juga mencakup pengertian sosial (masyarakat). Intinya goal kesehatan secara menyeluruh bahwa kualitas hidupnya sangat baik. Namun, kondisi sosial dan ekonomi terutama di negara-negara berkembang yang kualitas hidup dan kemiskinan memburuk, secara tidak langsung memperburuk pula kesehatan reproduksi wanita.
Indikator-indikator permasalahan kesehatan reproduksi perempuan antara lain:
2.1.6.1  Gender
Gender adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran gender berbeda dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
2.1.6.2  Kemiskinan, antara lain mengakibatkan: makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi dan tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
2.1.6.3  Pendidikan yang rendah
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari uang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
2.1.6.4  Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.
2.1.6.5  Kekurangan gizi dan kesehatan yang buruk
Menurut WHO di negara berkembang terrnasuk Indonesia diperkirakan 450 juta wanita tumbuh tidak sempurna karena kurang gizi pada masa kanak-kanak, akibat kemiskinan. Jika pun berkecukupan, budaya menentukan bahwa suami dan anak laki-laki mendapat porsi yang banyak dan terbaik dan terakhir sang ibu memakan sisa yang ada. Wanita sejak ia mengalami menstruasi akan membutuhkan gizi yang lebih banyak dari pria untuk mengganti darah yang keluar. Zat yang sangat dibutuhkan adalah zat besi yaitu 3 kali lebih besar dari kebutuhan pria. Di samping itu wanita juga membutuhkan zat yodium lebih banyak dari pria, kekurangan zat ini akan menyebabkan gondok yang membahayakan perkembangan janin baik fisik maupun mental. Wanita juga sangat rawan terhadap beberapa penyakit, termasuk penyakit menular seksual, karena pekerjaan mereka atau tubuh mereka yang berbeda dengan pria. Salah satu situasi yang rawan adalah, pekerjaan wanita yang selalu berhubungan dengan air, misalnya mencuci, memasak, dan sebagainya. Seperti diketahui air adalah media yang cukup berbahaya dalam penularan bakteri penyakit.
2.1.6.6  Beban Kerja yang berat.
Wanita bekerja jauh lebih lama dari pada pria, berbagai penelitian yang telah dilakukan di seluruh dunia rata-rata wanita bekerja 3 jam lebih lama. Akibatnya wanita mempunyai sedikit waktu istirahat, lebih lanjut terjadinya kelelahan kronis, stress, dan sebagainya. Kesehatan wanita tidak hanya dipengaruhi oleh waktu kerja, tetapi juga jenis pekerjaan yang berat, kotor dan monoton bahkan membahayakan. Di India banyak kasus keguguran atau kelahiran sebelum waktunya pada musim panen karena wanita terus-terusan bekerja keras. Di bidang pertanian baik pria maupun wanita dapat terserang efek dari zat kimia (peptisida), tetapi akan lebih berbahaya jika wanita dalam keadaan hamil, karena akan berpengaruh terhadap janin dalam kandungannya. Resiko-resiko yang harus dialami bila wanita bekerja di industri-industri misalnya panas yang berlebih-lebihan, berisik, dan cahaya yang menyilaukan, bahan kimia, atau radiasi.
Peran jender yang menganggap status wanita yang rendah berakumulasi dengan indikator-indikator lain seperti kemiskinan, pendidikan, kawin muda dan beban kerja yang berat mengakibatkan wanita juga kekurangan waktu, informasi, untuk memperhatikan kesehatan reproduksinya (Juliandi : 2003).
2.1.7     Gambaran Masalah Kesehatan Reproduksi Wanita
2.1.7.1    Isu penanganan masalah sosial perempuan merupakan bagian dari kelima isu yang ditangani di bidang perlindungan perempuan seperti yang sudah diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 RPJMN 2010-2014.
2.1.7.2    Isu penanganan masalah sosial perempuan meliputi isu terkait dengan penanganan masalah sosial perempuan di daerah rawan konflik dan bencana alam, perempuan lanjut usia, perempuan penyandang disabilitas , dan pornografi.
2.1.7.3    Isu penanganan masalah sosial perempuan adalah isu yang penanganannya dilaksanakan secara lintas sector dan lintas bidang (cross-cutting issues) dan diselenggarakan secara terkoordinasi.
2.2  Kekerasan terhadap Perempuan
2.2.1      Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan
Tindak kekerasan adalah melakukan kontrol, kekerasan dan pemaksaan meliputi tindakan seksual, psikologis, fisik dan ekonomi yang dilakukan individu terhadap individu yang lain dalam hubungan, rumah tangga atau hubungan intim (karib).
Kekerasan terhadap perempuan merupakan konsep baru, yang diangkat pada Konferensi Dunia Wanita III di Nairobi, yang berhasil menggalang konsesus internasional atas pentingnya mencegah berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan sehari-hari di seluruh masyarakat dan bantuan terhadap perempuan koban kekerasan.
Deklarasi Tentang Eliminasi Kekerasan terhadap Perempuan (1993) mendefinisikan Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai berikut :Segala bentuk tindak kekerasan berbasis jender yang berakibat, atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan; termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi. Dengan demikian, Kekerasan Terhadap Perempuan meliputi:
2.2.1.1           Kekerasan Fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, kekerasan seksual terhadap anak perempuan, pemaksaan isteri untuk melakukan hubungan seksual, penyunatan alat kelamin perempuan.
2.2.1.2           Kekerasan fisik seksual dan psikologis yuang terjadi di masyarakat, termasuk perkosaan, penyalahgunaan dan pelecehan seksual serta intimidasi ditempat kerja, institusi pendidikan dan dimanapun.
2.2.1.3           Penjualan perempuan dan prostitusi paksa.
2.2.1.4           Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibiarkan oleh negara dimana pun hal itu terjadi.
2.2.2      Bentuk-bentuk Kekerasan pada Perempuan
Mencermati pendapat dari para ahli mengenai istilah-istilah yang dipakai untuk menyatakan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan nampaknya belaum ada kesamaan istilah, ada yang memakai bentuk-bentuk, ada yang memakai jenis-jenis. Beberapa bentuk kekerasan sebagai berikut:
2.2.2.1      Kekerasan fisik , seperti : memukul, menampar, mencekik dan sebagainya.
2.2.2.2      Kekerasan psikologis, seperti : berteriak, menyumpah, mengancam, melecehkan dan sebagainya.
2.2.2.3      Kekerasan seksual, seperti : melakukan tindakan yang mengarah keajakan/desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan lain sebagainya.
2.2.2.4      Kekerasan finansial, seperti : mengambil barang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial dan sebagainya.
2.2.2.5      Kekerasan spiritual, seperti : merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempraktekan ritual dan keyakinan tertentu (Kristi E. Purwandari, 2002).
2.2.3      Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan yaitu :
2.2.3.1      Budaya patriarki yang mendudukan laki-laki sebagai mahluk superior dan perempuan sebagai mahluk interior.
2.2.3.2      Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menganggap laki-laki boleh menguasai perempuan.
2.2.3.3      Peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka memukul, biasanya akan meniru perilaku ayahnya (Aina Rumiati Aziz, 2002: 2).


2.2.4      Dampak Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dapat berakibat hal-hal sebagai berikut ;
2.2.4.1      Akibat fisik ( terhadap perorangan )
1)      Luka berat dan kematian akibat perdarahan.
2)      Infeksi, seperti ISR, PMS, HIV/AIDS.
3)      Penyakit radang panggul yang kronik, yang dapat berakibat infertilitas.
4)      Kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman.
2.2.4.2      Akibat Non fisik ( terhadap perorangan )
1)   Gangguan mental, misalnya depresi, ketakutan ,cemas, rasa rendah diri, sulit tidur, mimpi buruk, gangguan makan, ketagihan alkohol dan obat, menarik diri.
2)   Trauma terhadap hubungan seksual, disfungsi seksual.
3)   Perkawinan yang tidak harmonis.
4)   Bunuh Diri.
2.2.4.3      Akibat Terhadap Masyarakat
1)      Bertambahnya biaya pemeliharaan kesehatan
2)      Efek terhadap produktivitas
3)      Kekerasan Terhadap Perempuan di lingkungan sekolah dapat mengakibatkan putus pendidikan karena terpaksa keluar sekolah.
2.2.5      Pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah Kekerasan terhadap Perempuan antara lain :
2.2.5.1      Masyarakat menyadari/mengakui kekerasan terhadap perempuan sebagai masalah yang perlu diatasi.
2.2.5.2      Menyebarluaskan produk hukum tentang pelecehan seksual ditempat kerja.
2.2.5.3      Membekali perempuan tentang penjagaan keselamatan diri
2.2.5.4      Melaporkan tindak kekerasan pada pihak yang berwenang
2.2.5.5      Melakukan akasi menentang kejahatan seperti kecanduan alkohol, perkosaan dan lain-lain antara lain melalui organisasi masyarakat.
2.2.6      Peran Petugas Kesehatan dalam Mencegah Kekerasan terhadap Perempuan
Peran petugas kesehatan dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan, antara lain:
2.2.6.1      Melakukan penyuluhan untuk mencegah dan penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan.
2.2.6.2      Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.12
2.2.6.3      Bermitra dan berpartisipasi dalam pengembangan jaringan kerja untuk menanggulangi masalah kekerasan terhadap perempuan dengan instansi terkait : LSM, organisasi kemasyarakatan lainnya dan organisasi profesi.
2.2.6.4      Memberikan pelayanan yang dibutuhkan bagi korban kekerasan terhadap perempuan.
2.2.7      Kekerasan Terhadap Perempuan Dari Perspektif Gender.
Faham gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan. Sebagai kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah.
Oleh karena gender bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat gender ternyata melahirkan ketidak adilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi, stereotype. Bentuk ketidak adilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut di atas terjadi karena adanya keyakinan bahwa kodrat perempuan itu halus dan posisinya di bawah laki-laki, bersifat melayani dan tidak sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian maka perempuan disamakan dengan barang (properti) milik laki-laki sehingga dapat diperlakukan sewenang-wenang. Pola hubungan demikian membentuk sistem patriarki. Sistem ini hidup mulai dari tingkat kehidupan masyarakat kelas bawah, kelas menengah dan bahkan sampai pada tingkat kelas tinggi. Mulai dari individu, keluarga, masyarakat dan negara.
2.2.8      Perkosaan
2.2.8.1        Jenis Perkosaan dan kekerasan Seksual
1)      Perkosaan oleh orang yang kita kenal
a.       Perkosaan oleh suami atau bekas suami.
Bila hukum dan tradisi memperlakukan wanita sebagai hak milik dari suami, maka suami akan berfikir bahwa dia punya hak penuh untuk menuntut pelayanan seksual dari istri kapanpun dia kehendaki, meskipun si wanita tidak menginginkannya.
b.      Seorang wanita bisa diperkosa oleh pacarnya.
Pacarnya mungkin bilang bahwa dia punya hak untuk hubungan seksual karena dia telah menghabiskan uang untuk wanita tersebut, karena wanita sering menggoda yang menjurus kearah seksual, atau karena dia telah melamar wanita tersebut.
c.       Perkosaan di tempat Kerja
Seorang wanita mungkin dipaksa untuk hubungan seksual oleh seorang teman kerja atau oleh atasannya, sehingga wanita tersebut bisa tetap bekerja. Wanita itu mungkin diancam dengan kehilangan pekerjaan atau hukuman lain bila dia menceritakan kepada orang lain.
d.      Perkosaan pada anak-anak
Seorang anak laki-laki atau perempuan bisa diperkosa oleh pria anggota keluarga atau orang dewasa lain.
2)      Perkosaan oleh orang yang tidak dikenal.

2.2.8.2        Reaksi sesudah perkosaan
1)      Perasaan mudah marah.
2)      Takut, cemas, gelisah.
3)      Merasa bersalah.
4)      Malu, reaksi-reaksi lain yang bercampur aduk.
5)      Menyalahkan diri sendiri.
6)      Menangis bila teringat peristiwa tersebut.
7)      Ingin melupakan peristiwa perkosaan yang telah dialami.
8)      Merasa diri tidak normal, kotor, berdosa, tidak berguna.
9)      Merasa lelah, tidak ada gairah dan tidak bisa tidur.
10)  Selalu ingin muntah, perut dan vagina terasa sakit.
11)  Ingin bunuh diri.
2.2.8.3        Tindakan yang harus dilakukan bila terjadi perkosaan.
1)      Korban harus segera melapor ke polisi. Di Kepolisian korban akan diantar ke dokter untuk mendapatkan visum etrepertum atau kalau terpaksa korban bisa datang ke rumah sakit terlebih dahulu agar dokter bisa memberikan surat keterangan. Mintalah dokter untuk menghubungi polisi.
2)      Jangan membersihkan diri atau mandi karena sperma, serpihan kulit ataupun rambut pelaku yang bisa dijadikan barang bukti akan hilang. Sperma hanya hidup dalam waktu 2 x 24 jam. Simpan pakaian, barang-barang lain yang anda pakai, ataupun kancing/robekan baju pelaku yang bisa dijadikan barang bukti. Serahkan barang-barang tersebut kepada polisi dalam keadaan asli (jangan dicuci atau dirubah bentuknya). Apabila korban takut pergi sendiri ke polisi, ajaklah teman/saudara untuk menemani.
3)      Yakinkan diri bahwa korban perkosaan bukanlah orang yang bersalah. Pelaku perkosaanlah yang harus dihukum. Korban berhak untuk melaporkan pelaku agar bisa dihukum sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.
2.2.8.4        Kiat-kiat menghindari perkosaan
1)      Bertingkah laku wajar.
2)      Bersikap tegas, tunjukkan sikap dan tingkah laku percaya diri.
3)      Pandai-pandai membaca situasi. Berjalanlah cepat tapi tenang.
4)      Hindari berjalan sendiri di tempat gelap dan sepi.
5)      Berpakaian sewajarnya yang memudahkan Anda untuk lari/mengadakan perlawanan. Jangan memakai terlalu banyak perhiasan.
6)      Sediakanlah selalu “senjata” seperti: korek api, deodorant spray (semprot), payung, dsb., dalam tas Anda.
7)      Apabila bepergian ke suatu tempat, harus sudah mengetahui alamat lengkap, denah dan jalur kendaraan. Jangan kelihatan bingung, carilah informasi pada tempat-tempat yang resmi.
8)      Jangan mudah menumpang kendaraan orang lain.
9)      Berhati-hatilah jika diberi minuman oleh seseorang.
10)  Jangan mudah percaya pada orang yang mengajak Anda bepergian ke suatu tempat yang tidak kenal.
11)   Bacalah tulisan-tulisan tentang perkosaan. Dengan demikian Anda bisa mempelajari tanda-tanda pelaku dan modus operandinya.
12)  Pastikan jendela, pintu kamar, rumah, mobil Anda sudah terkunci bila Anda di dalamnya.
13)  Belajar bela diri untuk pertahankan diri Anda sewaktu diserang.
2.2.8.5        Pelecehan seksual pada wanita
Pelecehan seksual merupakan segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran, sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti: rasa malu, tersinggung, marah, dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban. Dewasa ini, penelitian di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia menunjukkan 5 % dan 20% wanita mengatakan pernah dianiaya secara fisik selama anak-anak atau remaja.
1)      Macam-macam pelecehan seksual
a.       Homoseksualitas (Lesbianisme)
Lebih dari 90% wanita menjalin hubungan yang stabil dan kepuasan seks dengan anggota dari jenis kelamin yang melengkapi. Sekitar 5 % wanita atau mungkin lebih, adalah biseksual, artinya pada saat-saat tertentu atau pada periode tertentu dalam kehidupan mereka, mereka memilih untuk menjalin hubungan seksual dengan seorang pria dan disaat yang sam berhubungan seksual dengan seorang wanita.
Sekitar 5 %, wanita sama sekali tidak pernah tertarik kepada pria, meskipun mereka mempunyai teman pria. Minat seks, kebutuhan menjalin hubungan, dipenuhi dari wanita lain.
b.      Transeksualisme
Yaitu seseorang wanita percaya bahwa dia menempati tubuh seseorang dari jenis kelamin lain. Secara psikologis dan emosional dia merasa sebagai seorang pria.
2)      Cara Menghindari Pelecehan Seksual
a.       Hindari orang yang melakukan pelecehan seksual terhadap wanita lain di tempat kerja.
b.      Jangan pergi hanya dengan teman laki-laki.



2.3  Undang-undang tentang Perlindungan Perempuan
Pada tahun 1993, deklarasi PBB tentang Penghapusan kekerasan terhadap perempuan mengeluarkan definisi resmi pertama dari kekerasan berbasis gender:
Pasal 1 : tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau mungkin mengakibatkan, kerugian fisik, seksual atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan sewenang-wenang, baik terjadi di publik ataupun dalam kehidupan pribadi.
Pasal 2 : menyatakan bahwa Deklarasi definisi harus mencakup, tetapi tidak terbatas pada,tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dalam keluarga, masyarakat, atau dilakukan atau dibiarkan oleh negara, di mana pun itu terjadi. Tindakan ini meliputi: pelecehan seksual, termasuk anak-anak perempuan, mas kawin yang berhubungan dengan kekerasan; perkosaan, termasuk perkosaan; mutilasi alat kelamin perempuan atau pemotongan dan praktek-praktek tradisional lainnya berbahaya bagi perempuan; non-kekerasan terhadap pasangan; kekerasan seksual yang berhubungan dengan eksploitasi; pelecehan seksual dan intimidasi di tempat kerja, di sekolah dan di tempat lain, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa (Rahmi : 2012).
Menurut pasal 2 konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual, fisik, dan psikologis, meliputi:
1.      Di dalam keluarga: pemukulan, pelecehan seksual terhadap anak, mutilasi alat kelamin perempuan dan pemerkosaan.
2.      Di dalam masyarakat: pelecehan seksual, pelecehan seksual sekaligus intimidasi,perdagangan manusia dan pelacuran paksa.
3.      Negara: dalam hal berkaitan dengan negara contohnya yaitu buruknya rancangan dan penegakan hukum untuk kekerasan terhadap perempuan, agen penegak hukum yang melanggar hukun, kurangnya fasilitas dan pendidikan untuk pencegahan dan pengobatan perempuan korban kekerasan, sanksi dan penguatan gender yang tidak setara. Selain itu ketidak pedulian negara dan penelantaran dalam memberikan dan menciptakan peluangbagi perempuan dalam haknya untuk bekerja, berpartisipasi, pendidikan, dan akses kelayanan sosial (Rahmi : 2012).

2.4  Kasus
2.4.1        Kasus Tragedi Rohingya
Dikutip dari : http://www.kompasiana.com//
Berikut ini adalah kronologi lengkap pemicu tragedi Rohingya dari surat kabar Myanmar dan dari beberapa media internasional. Surat kabar The New Light of Myanmar edisi 4 Juni 2012 melaporkan satu berita mengenai pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis oleh tiga orang pemuda:
1)      Insiden Pemerkosaan dan Pembunuhan
“NAY PYI TAW, 4 Juni - Dalam perjalanan menuju rumah dari tempat bekerja sebagai tukang jahit, Ma Thida Htwe, seorang gadis Buddha berumur 27 tahun, putri U Hla Tin, dari perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauknimaw, Yanbye, ditikam sampai mati oleh orang tak dikenal. Lokasi kejadian adalah di hutan bakau dekat pohon alba di samping jalan menuju Kyaukhtayan pada tanggal 28 Mei 2012 pukul 17:15.
Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Kantor Polisi Kyauknimaw oleh U Win Maung, saudara korban. Kantor polisi memperkarakan kasus ini dengan Hukum Acara Pidana pasal 302/382 (pembunuhan / pemerkosaan). Lalu Kepala kepolisian distrik Kyaukpyu dan personil pergi ke Desa Kyauknimaw pada 29 Mei pagi untuk pencarian bukti-bukti lalu menetapkan tiga tersangka, yaitu Htet Htet (a) Rawshi bin U Kyaw Thaung (Bengali/Muslim), Rawphi bin Sweyuktamauk (Bengali/Muslim) dan Khochi bin Akwechay (Bengali/ Muslim).
Penyelidikan menunjukkan bahwa Htet Htet (a) Rawshi tahu rutinitas sehari-hari korban yang pulang-pergi antara Desa Thabyechaung dan Desa Kyauknimaw untuk menjahit. Menurut pengakuannya dia berbuat dipicu oleh kebutuhan uang untuk menikahi seorang gadis, dan berencana untuk merampok barang berharga yang dipakai korban. Bersama dengan Rawphi dan Khochi, Rawshi menunggu di pohon alba dekat tempat kejadian. Tak lama Ma Thida Htwe yang diincarnya datang dan berjalan sendirian, ketiganya lalu menodongkan pisau dan membawanya ke hutan. Korban lalu diperkosa dan ditikam mati, tak lupa merenggut lima macam perhiasan emas termasuk kalung emas yang dikenakan korban.
Untuk menghindari kerusuhan rasial dan ancaman warga desa kepada para tersangka, aparat kepolisian setempat bersiaga dan mengirim tiga orang pelaku tersebut ke tahanan Kyaukpyu pada tanggal 30 Mei pukul 10.15.
Pada pukul 13:20 hari yang sama, sekitar 100 warga dari Rakhine Kyauknimaw tiba di Kantor Polisi Kyauknimaw dan menuntut agar tiga orang pelaku pembunuh diserahkan kepada mereka namun dijelaskan oleh pihak kepolisian bahwa mereka sudah dikirim ke tahanan.
Massa yang mendatangi kepolisian tidak puas dengan itu dan berusaha untuk masuk kantor polisi. Polisi terpaksa harus menembakkan lima tembakan untuk membubarkan mereka.
Pada pukul 13:50 100 warga Rakhine Desa Kyauknimaw lalu meninggalkan kantor polisi menuju Kantor Pemerintahan untuk menyampaikan keinginannya dengan diikuti oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadi keributan.
Pukul 16.00, para pejabat tingkat Kota menerima dan memberikan klarifikasi untuk menghindari kerusuhan, dan penduduk desa meninggalkan kantor pada pukul 17:40.
Keesokan harinya, 31 Mei pukul 9 pagi, mereka meninggalkan Yanbye ke Desa Kyauknimaw dengan dua perahu. Mereka pulang dengan membawa santunan sebesar 1 juta Kyat (mata rupiah Myanmar) untuk desa dari Menteri Perhubungan, U Kyaw Khin, 600.000 Kyat dan lima set jubah untuk pemakaman korban serta ditambah 100.000 Kyat dari santunan perwakilan negara.
Pada 31 Mei 15:05 Menteri Dalam Negeri dan Keamanan Perbatasan Negara, wakil kepala Kantor Polisi, Kabupaten Kyaukphyu dan Kepala Kantor Polisi Distrik berpartisipasi dalam pemakaman korban dan mengadakan diskusi dengan penduduk desa.
Pada 1 Juni pukul 9 pagi Kepala Menteri Negara dan partai di Kyaukpyu mengadakan diskusi dengan organisasi pemuda Kyaukpyu atas kasus pembunuhan tersebut. Diskusi-diskusi terutama menyinggung menjatuhkan hukuman jera pada para pembunuh dan membantu mencegah kerusuhan saat mereka sedang diadili.”
2)      Insiden 10 Orang Muslim Dibunuh Dalam Bis
Menurut berita harian New Light dan beberapa blog orang Myanmar menyebutkan bahwa beredar foto-foto dan informasi bahwa “menurut bukti forensik polisi dan juga saksi mata yang melihat tubuh korban, ia diperkosa beberapa kali oleh tiga pemuda Bengali Muslim dan tenggorokannya digorok, dadanya ditikam beberapa kali dan organ wanitanya ditikam dan dimutilasi dengan pisau.
Setelah itu lebih dari seribu massa marah dan hampir menghancurkan kantor polisi di mana tiga pelaku ditangkap. Lalu kasus terburukl dan pemicu tragedi Ronghya adalah pembantaian terhadap 10 orang Muslim peziarah yang ada dalam sebuah bus di Taunggup dalam perjalanan dari Sandoway ke Rangoon pada tanggal 4 Juni.”
Koran New Light Myanmar edisi 5 Juni memberitakan rincian mengenai pembunuhan sepuluh orang Burma Muslim oleh massa Arakan sebagai berikut:
“Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang dibunuh kejam pada tanggal 28 Mei, sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association, Taunggup, membagi-bagikan selebaran sekitar jam 6 pagi pada 4 Juni kepada penduduk lokal di tempat-tempat ramai di Taunggup, disertai foto Ma Thida Htwe dan memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine.
Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orang Muslim dalam sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangon dan berhenti di Terminal Bus Ayeyeiknyein.
Petugas terminal lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangon dengan segera. Bus berisi penuh sesak oleh penumpang.
Beberapa orang dengan mengendarai sepeda motor mengikuti bus. Ketika bus tiba di persimpangan Thandwe-Taunggup, sekitar 300 orang lokal sudah menunggu di sana dan menarik penumpang yang beridentitas Muslim keluar dari bus. Dalam bentrokan itu, sepuluh orang Islam tewas dan bus juga hancur.
Konflik sejak insiden 10 orang Muslim terbunuh terus memanas di kawasan Arrakan, Burma, muslim Rohingya menjadi sasaran. Seperti dilansir media Al-Jazeera, Hal ini dipicu juga oleh bibit perseteruan yang sudah terpendam lama, yaitu perseteruan antara kelompok etnis Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama Buddha. Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat. Ditambah lagi agama yang berbeda. Dari laporan berbagai berita sampai saat ini sejak insiden tersebut sudah terjadi tragedi pembantaian etnis Rohingya (yang notabene beragama Islam) lebih dari 6000 orang.**[harja saputra]
2.4.2        Analisa Kasus
Dari kasus diatas jelas bahwa perempuan adalah korban dari kekerasan yang meliputi tindakan fisik, psikologi maupun seksual. Dari segi fisik perempuan tersebut telah mengalami penganiayaan yang pada akhirnya sampai pembunuhan. Dari segi psikologi perempuan tersebut bisa mengalami gangguan mental, trauma terhadap hubungan seksual, disfungsi seksual. Dan dari segi seksual jelas bahwa perempuan tersebut mengalami pelecehan seksual. Korban dari perkosaan tersebut juga akan beresiko HIV/AIDS ataupun IMS. Kasus perkosaan dan pembunuhan di atas telah melanggar Hak-Hak Reproduksi perempuan antara lain :
a.               Hak atas kebebasan dan keamanan yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
b.              Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari pelecehan, perkosaan, kekerasan, penyiksaan seksual.
Selain itu juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu : a) Hak untuk hidup; b) Hak atas keamanan seseorang; c) Hak atas non-diskriminasi dan kesetaraan; d) Hak atas kesehatan; e) Hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam, merendahkan dan tidak manusiawi.
Kasus pemerkosaan terhadap perempuan di daerah konflik bukanlah merupakan isu yang baru. Kasus-kasus ini telah terjadi sejak pertama kali perang antar manusia berlangsung. Perkosaan telah digunakan berkali-kali sebagai taktik atau senjata dalam perang. Pemerkosaan merupakan bagian dari kekerasan berdasarkan gender atau yang lebih dikenal dengan Gender  Based Violence (GBV), namun GBV mencakup lebih luas tidak hanya berkaitan dengan pemerkosaan. Perang dan GBV memiliki keterkaitan yang erat. Dimana perempuan seringkali menjadi korban dalam jumlah besar. . Perang sering kali memberikan efek yang buruk bagi rakyat sipil, terutama perempuan. Meskipun pada dasarnya baik perempuan maupun laki-laki memiliki potensi yang sama menjadi korban, namun mereka mengalami dalam bentuk yang berbeda. Laki-laki umumnya dipaksa untuk pergi berperang dan terbunuh di dalam aksi senjata, sementara perempuan mengalami kekerasan seksual, pemaksaan kehamilan, penculikan, perkosaan, perbudakan seksual dan pemaksaan prostitusi.
Terdapat berbagai definisi mengenai Gender Based Violence (GBV). Menurut UN Commissioner for Refugees mendefinisikan GBV sebagai: “ gender-based violence (GBV) refers to violence that targetsa person or a group of persons because of gender”. Dalam hal ini GBV berarti kekerasan yang ditargetkan kepada seseorang atau sekelompok orang karena gender mereka. Sedangkan Komite penghapusan Kekerasan terhadap perempuan mengartikan dengan lebih luas, yaitu termasuk kepada tindakan yang mengakibatkan kerugian fisik, mental atau seksual atau penderitaan, ancaman tindakan, serta paksaan dan perampasan kebebasan lainnya berdasarkan gender mereka. Sedangkan menurut UNIFEM (United Nations Introduction dalam “Women War Peace” GBV memasukkan konteks baru ke dalam pendefinisian GBV, yaitu memasukkan unsur hubungan kekuasaan yang tidak setara antara perempuan dan laki-lakidalam masyarakat. Pada umumnya GBV ditimbulkan oleh laki-laki terhadap perempuan. Oleh karena itu pada tahun 1993, deklarasi PBB tentang Penghapusan kekerasan terhadap perempuan mengeluarkan definisi resmi pertama dari kekerasan berbasis gender: Pasal 1 : tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau mungkin mengakibatkan, kerugian fisik, seksual atau psikologis atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan sewenang-wenang, baik terjadi di publik ataupun dalam kehidupan pribadi. Pasal2 : menyatakan bahwa Deklarasi definisi harus mencakup, tetapi tidak terbatas pada, tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dalam keluarga, masyarakat, atau dilakukan atau dibiarkan oleh negara, di mana pun itu terjadi. Tindakan ini meliputi: pelecehan seksual, termasuk anak-anak perempuan, mas kawin yang berhubungan dengan kekerasan; perkosaan, termasuk perkosaan; mutilasi alat kelamin perempuan atau pemotongan dan praktek-praktek tradisional lainnya berbahaya bagi perempuan; non-kekerasan terhadap pasangan; kekerasan seksual yang berhubungan dengan eksploitasi; pelecehan seksual dan intimidasi di tempat kerja, di sekolah dan di tempat lain, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa.
Jika didefinisikan sesuai dengan penggunaan kata, GBV tidak hanya melingkupi perempuan, namun biasanya perempuan selalu menjadi korban, hal ini disebabkan perempuan lebih rentan mengalami kekerasan. Hal ini muncul berkaitan dengan hubungan kekuasaan yang tidak setara, baik itu dalam lingkup keluarga, masyarakat, bahkan negara. Oleh karena itu muncul berbagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan GBV, seperti “kekerasan seksual”, “kekerasan terhadap perempuan”, dan lainnya.
Meskipun konsep GBV seolah-olah khusus pada korban perempuan, namun laki-laki dapat mengalami kekerasan berbasis gender ini. Namun, kekerasan yang mengalami lebih kepada diskriminasi jika mereka menyimpang dari konsep “maskulinitas”. Dapat dikatakan disini bahwa jika pria yang mengalami kekerasan dan diskriminasi gender hal ini disebabkan ketika mereka tidak menunjukkan sisi ke-maskulinitas mereka seperti yang seharusnya. Contohnya seperti yang dialami oleh para kaum LGBT. Menurut sebuah lembaga penelitian Internasional secara keseluruhan di seluruh dunia, laki-laki memiliki tingkat kekerasan fisik daripada wanita. Namun kekerasan ini diakibatkan oleh sesama mereka sendiri dalam perang, perkelahian antar geng, kekerasan di sekolah dan jalanan. Sedangkan perempuan mengalami kekerasan dari lawan jenis mereka. Menurut pasal 2 konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual, fisik, dan psikologis, meliputi:
1)      Di dalam keluarga: pemukulan, pelecehan seksual terhadap anak, mutilasi alat kelamin perempuan dan pemerkosaan.
2)      Di dalam masyarakat: pelecehan seksual, pelecehan seksual sekaligus intimidasi,perdagangan manusia dan pelacuran paksa.
3)      Negara: dalam hal berkaitan dengan negara contohnya yaitu buruknya rancangan dan penegakan hukum untuk kekerasan terhadap perempuan, agen penegak hukum yang melanggar hukun, kurangnya fasilitas dan pendidikan untuk pencegahan dan pengobatan perempuan korban kekerasan, sanksi dan penguatan gender yang tidak setara. Selain itu ketidak pedulian negara dan penelantaran dalam memberikan dan menciptakan peluangbagi perempuan dalam haknya untuk bekerja, berpartisipasi, pendidikan, dan akses kelayanan sosial.
Kasus-kasus GBV dapat ditemukan di negara-negara yang sedang berkonflik, baik itu konflik internal maupun konflik eksternal negara. Menurut data dari UNFPA berkaitan dengan kasus GBV di seluruh dunia yaitu, satu dari tiga wanita telah dipukuli dan dipaksa melakukan hubungan seks. Baik itu oleh kenalan maupun anggota keluarga. Selanjutnya pelaku GBV seringkali tidak tersentuh oleh hukum. Setiap tahun ratusan ribu perempuan dan anak-anak diperdagangkan dan diperbudak, sedangkan jutaan lainnya menjadi objek praktek berbahaya. Menurut hasil laporan dari Oxfam kanada terdapat 16 fakta mengenai GBV, yaitu:
a.       Di seluruh dunia, sebanyak 1 dari setiap 3 wanita telah dipukuli, dipaksa melakukan hubungan seks, atau dilecehkan dengan cara lain - yang paling sering oleh seseorang yang dikenalnya, termasuk oleh suaminya atau anggota keluarga laki-laki.
b.      Wanita lebih rentan terhadap kekerasan selama masa krisis karena ketidakamanan yang meningkat.
c.       1 dari 5 wanita akan menjadi korban perkosaan atau percobaan perkosaan dalamhidupnya.
d.      Sekitar 1 dari 4 wanita disalahgunakan selama kehamilan, yang menempatkan ibu dan anak beresiko.
e.       Hukum yang mempromosikan kesetaraan gender sering tidak diterapkan.
f.       Setidaknya 130 juta perempuan telah dipaksa menjalani mutilasi alat kelamin perempuan (FGM).
g.      Sedikitnya 60 juta anak perempuan yang seharusnya dapat diharapkan untuk hidup yang hilang dari berbagai populasi sebagai akibat dari aborsi atau kelalaian.
h.      Lebih dari setengah juta perempuan terus meninggal setiap tahun dari kehamilan dan persalinan yang berhubungan dengan tingkat infeksi HIV di kalangan perempuan meningkat pesat.
i.        Pelaku kekerasan berbasis gender seringkali tidak dihukum.
j.        Di seluruh dunia, perempuan dua kali lebih mungkin sebagai laki-laki untuk buta huruf, membatasi kemampuan mereka untuk menuntut hak dan perlindungan.
k.      Pernikahan dini dapat memiliki konsekuensi serius termasuk berbahaya, penolakan pendidikan, masalah kesehatan, termasuk kehamilan prematur, yang menyebabkan tingginya tingkat kematian ibu dan bayi. Ketidakseimbangan kekuasaan juga berarti bahwa pengantin muda tidak dapat menegosiasikan penggunaan kondom atau protes ketika suami mereka terlibat dalam luar nikah hubungan seksual.
l.        Kekerasan terhadap perempuan merupakan menguras tenaga kerja produktif secara ekonomi. 
m.    Setiap tahun, diperkirakan 800.000 orang diperdagangkan melintasi perbatasan 80 persendari mereka perempuan dan anak perempuan. Kebanyakan dari mereka akhirnya terjebak dalam perdagangan seks komersial.
n.      Kekerasan berbasis gender juga berfungsi dengan niat atau efek untuk melanggengkan kekuasaan laki-laki dan kontrol.. 



BAB 3
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Persoalan kesehatan reproduksi bukan hanya mencakup persoalan kesehatan reproduksi wanita secara sempit dengan mengaitkannya pada masalah seputar perempuan usia subur yang telah menikah, kehamilan dan persalinan, pendekatan baru dalam program kependudukan memperluas pemahaman persoalan kesehatan reproduksi. Dimana seluruh tingkatan hidup perempuan merupakan fokus persoalan kesehatan reproduksi. Secara tematik, ada lima kelompok masalah yang diperhatikan dalam kesehatan reproduksi, yaitu kesehatan reproduksi itu sendiri, keluarga berencana, PMS dan pencegahan HIV/AIDS, seksualitas hubungan manusia dan hubungan gender, dan remaja. Secara lebih spesifik, berbagai masalah dalam kesehatan reproduksi adalah perawatan kehamilan, pertolongan persalinan, infertilitas, menopause, penggunann kontrasepsi, kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi baik pada remaja maupun pasangan yang telah menikah, PMS dan HIV/AIDS (berkaitan dengan prostitusi, homoseksualitas, gaya hidup dan praktek tradisional), pelecehan dan kekerasan pada perempuan, pekosaan, dan layanan dan informasi pada remaja.
Berfungsinya sistem reproduksi wanita dipengaruhi oleh aspek-aspek dan proses-proses yang terkait pada setiap tahap dalam lingkungan hidup. Masa kanak-kanak, remaja pra -nikah, reprodukstif baik menikah maupun lajang, dan menopause akan dilalui oleh setiap perempuan, dan pada masa- masa tersebut akan terjadi perubahan dalam sistem reproduksi.
Akibat yang muncul dari GBV (Gender Based Violence) biasanya bersifat menghancurkan, terutama bagi korbannya. Korban sering kali mengalami gangguan emosi, mengalami gangguan mental serta kesehatan reproduksi yang buruk. Perempuan korban kekerasan juga beresiko tinggi tertular HIV. Selain itu untuk jangka panjang para korban akan memerlukan pelayanan kesehatan intensif. Tidak hanya bagi korban itu sendiri, GBV juga memberikan dampak bagi anak-anak yang menjadi saksi. Mereka akan mengalami kerusakan psikologis yang akan sulit untuk disembuhkan.
3.2  Saran
Sehubungan dengan fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh hubungan seksual, tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan ksesadaran kemandirian wanita dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju penimgkatan kualitas hidupnya.



DAFTAR PUSTAKA

Diah Widyatun (2012). Konsep Dasar Kesehatan Reproduksi. Semarang. www.blogspot.com (16/04/13)
Imamah. 2009. Perempuan dan Kesehatan Reproduksi. Surabaya. Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Pusat Studi. Vol. IV Nomor 2 ( Hal 199–206)  
Juliandi Harahap. 2003. Kesehatan Reproduksi. Sumatera Utara. www repository.usu.ac.id (17/04/13)
Rahmi Yulia.2012. Gender Based Violence in Internation. www.academia.edu (16/04/13)
Riska Asri Puspita Dewi (2012). Kesehatan Reproduksi.Surabaya www.id.scribd.com (16/04/13)
Sri Rahayu Sanusi (2005). Hak Kesehatan Reproduksi, Definisi, Tujuan, Permasalahan, dan Faktor-faktor Penghambatnya. Sumatra Utara www.usu.ac.id (16/04/13)
widyaiswara (2009). Gender, kekuasaan, dan kesehatan Reproduksi www.bkkbn.go.id (16/04/13)
www.digilib.unimus.ac (16/04/13)
www.publikasi.umy.ac.id (16/04/13)

No comments:

Post a Comment